Kutukan air melimpah
Ada seratus perusahaan memanfaatkan air tanah di Kabupaten Sukabumi.
Sumber air di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, terus digerogoti oleh perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) mengeluarkan puluhan merek. Penduduk Desa Babakan Pari, Kecamatan Cidahu kini kekurangan air bersih.
Warga terpaksa menggunakan air keruh buat kebutuhan saban hari untuk menghemat air bersih di sumur mereka kerap dilanda kekeringan. Nasib mereka itu sukar dipercaya.
Penelitian oleh Direktorat Geologi bekerja sama dengan Bagian Lingkungan Hidup Kabupaten Sukabumi tiga tahun lalu menemukan 37 mata air tersebar di kecamatan Cidahu dan Cicurug. Namun Sukabumi justru menjadi kabupaten paling tertinggal.
Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Sukabumi yang kini berubah nama menjadi Dinas Pengelolaan Energi dan Sumber Daya Mineral pada Juli 2012 mencatat ada seratus perusahaan memanfaatkan air di Kabupaten Sukabumi. Kebanyakan pabrik itu berdiri dan membangun sumur bor di kecamatan Cidahu dan Cicurug. Mereka menyedot ratusan meter kubik air saban bulan.
Data itu menunjukkan Kabupaten Sukabumi memiliki kekayaan air melimpah. Namun Sukabumi seperti terkena kutukan. McCartan Humphreys dalam bukunya Escaping the Resource Curse terbitan 2007 menyebutkan negara-negara memiliki kekayaan alam melimpah justru mengalami terbelakang secara ekonomi dan tata kelola pemerintahan. Mereka kalah dengan negara-negara mempunyai sumber daya alam sedikit.
Humphreys menjelaskan hal itu disebabkan ketidaksetaraan keahlian. Situasi ini terjadi ketika pembeli, yaitu perusahaan internasional, berpengetahuan lebih baik tentang nilai sumber daya alam ketimbang penjual.
Sebab lain adalah pendidikan rendah di daerah kaya sumber daya alam dan pemerintahan lemah serta korup. "Di sisi lain, kekurangan sumber daya alam ternyata belum terbukti menjadi penghalang terhadap kesuksesan ekonomi," tulis Humphreys dalam halaman pertama bukunya.
Muhammad Reza, pengamat lingkungan dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), menegaskan kehidupan atas air untuk kebutuhan masyarakat harus disediakan oleh negara. Dia menilai rekturisasi air melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air gagal mengawasi perusahaan air minum dalam kemasan.
"Di atas kebutuhan itu harusnya ditarifkan menjadi komersil nyatanya diundangkan dan 2005 diputuskan MK. Bukti dalam mengatur AMDK hanya SNI dan pajak air tanah, kedua pengelolaan itu masih simpang siur," kata Reza melalui sambungan telepon Sabtu pekan kemarin.
Dia menjelaskan gagalnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terlihat jelas di Sukabumi. Padahal Undang-undang Dasar 1945 melalui pasal 33 sudah jelas mengatur tentang sumber daya alam menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Air harus dimasukan ke dalam domain publik dan dapat diakses semua orang. "Banyak izin industri memanfaatkan air. Artinya dia membuka jalan untuk ekploitasi air tanah," ujarnya.
KRuHA menemukan ekploitasi di Kecamatan Cidahu berdampak pada sulitnya air di desa sekitar kawasan pabrik Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Dampak eksplotasi oleh perusahaan di Desa Babakan Pari menimbulkan kekeringan sumur bagi penduduk berada tepat di atas lokasi pabrik.
"Makin dalam titik pengeboran itu, air permukaan akan turun," kata Reza. Selain itu, daya sedot mesin berkapasitas besar membuat air tanah terus terkuras dan menyebabkan lapisan tanah tetap menurun.