Menanti bukti manfaat ganja
Ketimbang diperdebatkan, pembuktian kegunaan ganja kini amat diperlukan.
Perdebatan terus bergulir ketika masalah penggunaan ganja dalam pengobatan menyeruak. Di Indonesia, ganja termasuk narkotika golongan I, satu kelompok dengan heroin hingga kristal meth atau sabu. Namun, ganja diyakini sebagian kalangan bermanfaat bagi kesehatan.
Dampak ditimbulkan dari penyalahgunaan ganja beragam. Mulai dari risiko kanker paru-paru, kanker kulit, kanker lambung, kanker otak, kanker hati, dan kanker getah bening. Namun, Yayasan Sativa Nusantara sudah berusaha menembus penghalang itu, dengan mengupayakan riset ganja sebagai obat. Usul itu pernah diajukan ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan pada 9 Oktober 2014.
Niat itu dijawab surat oleh Kementerian Kesehatan pada 30 Januari 2015 diteken oleh Kepala Balitbangkes, tentang izin penelitian menggunakan Cannabis. Yayasan Sativa Nusantara lantas menunjuk ahli kimia bahan alam Universitas Syah Kuala, Prof. Dr. Musri Musman M.Sc. Menurut Musri, pengetahuan tentang manfaat ganja di luar negeri berkembang pesat, berbeda dengan di Indonesia. Musri memaparkan, dari berbagai riset ditemukan terdapat lebih dari 600 senyawa yang telah dikenali dalam tumbuhan ganja.
Senyawa dimaksud antara lain terpenoid, steroid, hidrokarbon, alkaloid, karbohidrat, flavonoid, alkohol, alkanon, asam lemak, amida, vitamin, dan unsur-unsur mineral. Sebanyak 66 senyawa cannabinoid diperoleh dalam ekstrak ganja. Dari berbagai riset ditemukan cannabinoid justru melindungi sel saraf.
Ada beberapa manfaat buat penanganan medis melibatkan senyawa cannabinoid, yakni tercatat ada 36 kasus. Dari hasil penelitian itu, penyakit bisa disembuhkan yaitu penyalahgunaan alkohol, gangguan hiperaktif yang menurunkan perhatian (ADHD or AD/HD), sklerosis lateral amiotropik, collagen-induced arthritis (CIA), penyakit sendi, penyakit sendi rematik, asma, aterosklerosis, autis, gangguan bipolar, gangguan mental pada kanak-kanak, kanker kolorektum, tumor kulit, hingga depresi.
Dia mencontohkan, ada beberapa jenis obat mengandung senyawa dari ganja sudah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat. Yaitu Nabilone dan Marinol buat menganulir rasa mual akibat kemoterapi kanker. Kemudian fungsinya diperluas buat mengatasi gangguan pola makan pada pengidap AIDS. Hanya saja, dia tidak mengakui ada dampak negatif bagi tubuh jika ganja disalahgunakan. Salah satunya gangguan pernapasan dan halusinasi berlebihan.
"Tetapi sayang, riset di Indonesia hanya jalan di tempat dan belum dilaksanakan. Seharusnya ganja itu bukan dilarang sepenuhnya. Seharusnya ada penelitian lagi yang harus direvisi," kata Musri ketika dihubungi merdeka.com.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Ari Fahrial Syam, mengatakan sudah ada penelitian ganja di luar negeri yang bermanfaat bagi dunia medis. Menurutnya, cannabis atau ganja memang bisa digunakan sebagai obat dengan cara dimakan, bukan diisap. Di luar negeri, menurutnya, penggunaannya dibatasi hanya ekstrak atau mengkonsumsi daunnya saja.
"Manfaatnya dalam penelitian di luar negeri itu ada sebenarnya untuk nyeri, hubungan otot saraf, kemudian dalam keadaan mual bisa meningkatkan nafsu makan. Jadi keadaan-keadaan yang tertentu," kata Ari Fahrial ketika ditemui merdeka.com di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakata Pusat.
Walaupun ada manfaat dari penelitian di luar negeri, Ari mengingatkan ganja adalah barang haram di Indonesia. Dan menurutnya terdapat obat pengganti selain ganja bisa digunakan dalam dunia medis.
"Karena ini golongan obat yang mempengaruhi kesadaran seseorang, termasuk obat keras, dan juga suatu kelompok yang menyebabkan adiksi. Adiksi itu ketagihan. Biasanya produk-produk ini harus diawasi dengan ketat di dalam menggunakannya," kata Ari.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan berkeras ganja malah tak bermanfaat. Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, Fidiansyah, menyatakan ganja belum diperlukan buat kesehatan. Menurutnya, terdapat zat bekerja seperti ganja tetapi dalam bentuk sintesis. Malah dia menyatakan belum ada keadaan memaksa buat memanfaatkan ganja sebagai obat.
"Karena penggunaan yang kami katakan masih ada yang lebih baik dibanding ganja. Orang sakit kita atasi dengan morfin, aturannya sudah jelas. Bagaimana menyimpan dan mendistribusikannya, dan kalau ganja kita belum berpotensi menimbulkan masalah," kata Fidiansyah.
Meski demikian, Fidiansyah menyatakan pemerintah tidak menutup diri. Mereka akan membicarakan soal riset ganja dalam keperluan medis. Namun dia beralasan prosesnya bakal memakan waktu dan perlu jaminan pendanaan yang kuat.