Menengok sinagoge di Tondano
Sinagoge itu hanya dibuka saban Jumat dan Sabtu.
Hujan rintik masih mengguyur Kota Tondano, Sulawesi Utara, Sabtu sore pekan lalu. Jalanan di kota kecil ini terlihat sepi. Hanya bendi (semacam delman) lalu lalang merajai jalan. Tukang ojek banyak mangkal di tiap sudut kota berteduh. Kusir bendi segera mendekati penumpang tiap ada yang turun dari angkutan atau orang setengah berlari mencari tempat berteduh.
Meski begitu, Tondano sudah mendunia lantaran di sana berdiri sebuah sinagoge, tempat beribadah umat Yahudi. Letaknya Kelurahan Rerewokan, Kecamatan Tondano Barat.
Sopir mengantar merdeka.com nyaris baru mendengar istilah sinagoge. Kemudian petugas hotel tempat menginap juga baru mendengar ada sinagoge di Tondano. Demikian pula tukang ojek mangkal di pojokan terminal.
Tondano adalah ibu kota Kabupaten Minahasa. Jarak dari Manado, ibu kota Provinsi Sulawesi Utara, sekitar 35 kilometer. Tidak begitu sulit mengitari Tondano untuk mencari lokasi sinagoge.
Sinagoge itu berada tidak jauh dari makam pahlawan nasional Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi di Kelurahan Wawalintouan, Kecamatan Tondano Barat. Dari depan pusara itu, mengikuti jalan menanjak menuju markas Kepolisian Resor Minahasa.
Sekitar 1,5 kilometer dari kubur Sam Ratulangi, terdapat sebuah bangunan berwarna merah mencolok dengan arsitektur paling unik di kawasan itu. Kemudian di depan jalan bangunan itu terdapat penunjuk arah menuju Gereja Pantekosta di Indonesia Bukit Hermon Rerewokan.
Bangunan merah itu adalah sinagoge. Bentuknya segi enam dengan atap genteng rendah sehingga nyaris menutupi seluruh tembok. Tepat di atas pintu masuk terdapat papan nama bertulisan SHAAR HASHAMAYIM SYNAGOGUE, MINAHASA INDONESIA.
Sinagoge ini berukuran 8x16 meter, berdiri di atas lahan seluas 300 meter persegi. Kompleks ini dikelilingi pagar teralis besi setinggi 1,5 meter. Teralis ini juga dihiasi lambang Bintang Daud tiap jarak setengah meter.
Ada dua gerbang untuk memasuki sinagoge itu. Pintu masuk ke dalam bangunan ini ada di bagian samping. Dua pintu ini terbuat dari besi bercat hijau terdapat stiker kecil seukuran telunjuk orang dewasa bertulisan Shalom dalam huruf Ibrani dan Latin.
Sore itu, lampu taman dan dalam sinagoge sudah menyala. Namun pintu masuk sinagoge telah digembok. Sekitar setengah jam di sana, tidak ada satu orang pun menyahuti panggilan. “Sinagoge memang sepi, hanya buka saat Jumat atau Sabtu,” kata Franky Rumangki, pemilik rumah di seberang jalan sinagoge, itu saat ditemui merdeka.com.
Setelah penjaganya meninggal tahun lalju, sinagoge jarang dibuka. Dia menceritakan kemarin ada dua bus rombongan pelajar dari Manado mengunjungi tempat itu dan pintunya terbuka. Setelah itu bangunan kembali ditutup.
Franky membenarkan pengurus sinagoge itu bernama Toar Palilingan, pengajar di Universitas Sam Ratulangi, Manado. Tapi dia sangat jarang bertemu Toar, terakhir setahun lalu.
Dia lupa kapan persisnya sinagoge itu berdiri. “Biasanya yang datang ke sini itu keturunan Yahudi dari Manado. Pak Toar juga rumahnya di Manado, coba Anda cari di lingkungan pengacara Manado,” ujar Fanky.
Ahad pagi, merdeka.com kembali mengunjungi sinagoge itu. Sekitar satu jam menunggu tidak ada tanda-tanda ada orang dalam bangunan itu. Lampu taman dan dalam ruangan masih menyala.
Di pojokan sinagoge terlihat menorah setinggi dua meter dengan sembilan tatakan lilin dari besi berdiri tegak.