Monas (5): Merekam jejak keluarga Markam
Beberapa anggota keluarga Teuku Markam yang ditemui merdeka.com menolak diwawancara.
Siang itu matahari serasa sejengkal dari kepala ketika seekor kerbau betina mengaso di samping pintu belakang rumah Teuku Syauki Markam. Kerbau itu milik Syauki, salah satu anak dari saudagar kaya asal Aceh, Teuku Markam, yang konon termasuk orang terkaya di Indonesia pada era Soekarno. Dari luar, sepintas rumah Syauki seperti tanpa penghuni. Lengang. Pintu depan dan belakang rumah tembok bercat putih yang sebagian warnanya berubah kecoklatan itu terkunci.
Bau tengik dari kubangan lumpur bercampur tahi kerbau yang jaraknya kira-kira sedepa dari sekat tembok belakang rumah Syauki menyengat hidung. Setelah beberapa kali merdeka.com mengetuk pintu belakang rumah, Indah Yuliarti, bini Syauki, akhirnya membuka pintu. Tapi saat ditanya soal sejarah keluarga Markam, dia menolak bicara. ”Silakan tanya bapak saja,” kata dia saat ditemui di rumahnya itu, Jalan Bhakti nomor 48, Kelurahan Cilandak Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, bulan lalu.
Besoknya, tempat kerbau itu berubah menjadi tempat parkir mobil Volvo hitam buatan Swedia. Menurut Anton, warga sekitar, mobil itu biasa dikendarai Syauki. Namun saat pintu rumah diketuk, justru Putri, anak ketiga Syauki, yang muncul. Putri mengatakan bapaknya tidak ada di rumah. Saat merdeka.com bertanya soal sejarah Markam, dia memberi penuturan mirip ibunya. ”Silakan tanya bapak saja. Nanti saya salah bicara, bapak bisa marah-marah.”
Tapi dari Putri ada sedikit cerita. Menurut dia, sudah belasan tahun keluarga Markam berpencar ke mana-mana, ada yang tinggal di Aceh, beberapa lagi di Jakarta. Kakeknya, Markam, memang memiliki lebih dari dua istri. Syauki adalah anak dari salah satu bini tua Markam. Menurut perempuan dengan kawat gigi itu, bapaknya memiliki empat saudara kandung. ”Tapi rumah mereka di mana saya tidak tahu, mereka seperti trauma, susah diajak bicara,” ujarnya.
Syauki tidak berhasil ditemui di rumah dan kantornya, komplek rumah toko (ruko) Superindo, di Jalan Hayam Wuruk nomor 103H, Jakarta Pusat. Mungkiatun, pegawai kantor, mengatakan bosnya sedang ke luar kota. Ketika dua nomor telepon milik Syauki dihubungi, tidak ada jawaban. Menurut Mungki hal itu sudah biasa. Syauki, dia menambahkan, selama ini tidak pernah mau mengangkat telepon dari siapapun, kecuali keluarga dan kantor.
Begitu juga dengan kiriman pesan pendek permintaan wawancara, Syauki tetap tidak membalas. Tapi Mungki sempat bercerita ihwal perjuangan keluarga Markam merebut harta keluarga. Syauki, kata dia, sempat dua kali masuk penjara lantaran sengketa kepemilikan lahan dan perusahaan. Pertama, dia ditahan lantaran terbelit kasus jual beli lahan.
”Yang kedua dia dipenjara lagi karena membacok kepala seorang preman gara-gara sengketa lahan,” tuturnya. Hal itu dibenarkan Ambarwati, pegawai lain. Dia menyarankan, kalau menemui Syauki hendaknya malam hari, atau lebih dulu membuat janji. Kalau tidak begitu, bosnya sangat sulit ditemui.
Mungki kemudian menghubungkan merdeka.com dengan Cut Martaleta, adik tiri Syauki, yang kebetulan menginap di sebuah wisma tepat di depan kantor. Martaleta adalah anak Markam dari bini yang lain. Namun ketika ditemui, Martaleta juga menolak wawancara. ”Maaf tidak bisa, saya sedang sakit," kata dia.
Akhirnya, melalui pertanyaan singkat lewat pesan pendek, Martaleta bersedia menjawab. Isinya begini: saya minta disediakan uang Rp 30 juta karena saya jujur dengan Anda, keadaan saya sangat-sangat di bawah standar. Saya minta uang ditransfer di muka, setelah itu kita adakan pertemuan di rumah kakak saya, yang juga ahli waris Haji Teuku Markam.
Jejak kejayaan Markam memang masih ada. Rumah Syauki di Jalan Bhakti, Cilandak Timur, itu misalnya, berdiri di pojok halaman depan gudang PT Markam Jaya, sebuah perusahaan kontraktor milik Markam pada era Presiden Soekarno. Konon, Teuku Markam merupakan salah satu saudagar Aceh yang sukses di masanya. Dia sempat membangun infrastruktur di Aceh, termasuk jalan Medan-Banda Aceh, Bireuen-Takengon, Meulaboh, dan Tapaktuan.
Markam juga disebut-sebut memiliki sejumlah dok kapal di Jakarta, Makassar, Medan, dan Palembang. Dia tercatat sebagai eksportir pertama mobil Toyota Hardtop dari Jepang. Usaha lain adalah mengimpor pelat baja, besi beton sampai senjata untuk militer. Orang kaya ini juga disebut-sebut menyumbangkan 28 kilogram emasnya buat pembangunan tugu Monas.
Peran Markam mulai hancur dan runtuh ketika kekuasaan Soeharto semakin besar. Ia pernah ditahan delapan tahun dengan tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Harta kekayaannya dirampas. Dia mencoba bangkit setelah keluar dari penjara, tapi tidak bertahan lama. Pengambilalihan harta Markam ini dibenarkan oleh sejarawan Anhar Gonggong. ”Salah satunya Bank Duta milik Soeharto dulu kemungkinan asetnya Markam.”