PAN, Tetap Reformis atau Jadi Oligarki?
Kongres V Partai Amanat Nasional (PAN) yang digelar di Kendari, Sulawesi Tenggara, 10-12 Februari 2020 akan menjadi ujian konsistensi, tetap menjadi partai reformis atau mengikuti jejak partai politik lainnya, menjadi partai oligarki.
Kongres V Partai Amanat Nasional (PAN) yang digelar di Kendari, Sulawesi Tenggara, 10-12 Februari 2020 akan menjadi ujian konsistensi, tetap menjadi partai reformis atau mengikuti jejak partai politik lainnya, menjadi partai oligarki.
Berdirinya PAN tidak bisa dilepaskan dari lahirnya era reformasi setelah lengsernya Presiden Soeharto di tahun 1998. Saat keran politik dibuka, PAN lahir bersama partai-partai lainnya untuk menjadi jawaban dan alternatif bagi pemilih di Pemilu 1999.
-
Siapa yang hadir di Kongres ke-6 PAN? Kongres yang berlangsung di Hotel Kempinski, Jakarta, mengusung tema Nusantara. Adelia dan Pasha, yang diketahui merupakan kader partai tersebut, tampil mengenakan busana daerah layaknya pengantin.
-
Kapan Pasha dan Adelia menghadiri Kongres PAN? Pasha dan Adelia menghadiri perayaan ulang tahun Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus kongres ke-6 pada Jumat malam, 23 Agustus 2024.
-
Apa yang dilakukan Pasha dan Adelia di Kongres PAN? Bak Sepasang Pengantin Yang Akan Memasuki Pelaminan Pasha dan Adelia berjalan bergandengan tangan di lorong seperti sepasang pengantin yang akan memasuki pelaminan.
-
Kenapa Pasha dan Adelia hadir di Kongres PAN? Adelia dan Pasha, yang diketahui merupakan kader partai tersebut, tampil mengenakan busana daerah layaknya pengantin.
-
Bagaimana penampilan Adelia di Kongres PAN? Masih Terlihat Cantik dan Awet Muda Penampilan Adelia disebut sangat cantik dan menawan. Meskipun kini sudah memiliki empat anak, mantan pramugari ini tampak awet muda.
-
Kapan pertemuan Simpul-Simpul Relawan Anies Baswedan dengan PKS diselenggarakan? Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKS Habib Aboe Bakar Alhabsyi menerima kunjungan dari Ketua Simpul-Simpul Relawan Anies Baswedan di Kantor DPTP PKS, Jakarta, Selasa, (11/7)
Kelahiran PAN diinisiasi oleh tokoh-tokoh yang tergabung dalam Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang merupakan salah satu organ gerakan reformasi, PPSK Muhammadiyah, dan Kelompok Tebet. PAN dideklarasikan di Jakarta pada 23 Agustus 1998 oleh 50 tokoh nasional, di antaranya Amien Rais, Goenawan Mohammad, Abdillah Toha, Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Toety Heraty, Emil Salim, Faisal Basri, AM Fatwa, Zoemrotin, Alvin Lie Ling Piao, dan tokoh-tokoh lainnya.
Awalnya, para tokoh itu memilih nama Partai Amanat Bangsa (PAB), tapi dalam prosesnya berubah menjadi Partai Amanat Nasional (PAN).
Jika kaum nahdliyin punya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), hadirnya PAN diidentikkan dengan suara dari kalangan Muhammadiyah. Apalagi, Amien Rais yang menjadi ketua umum pertamanya merupakan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Desakan agar Muhammadiyah menjadi partai politik sempat muncul saat dilaksanakan Tanwir Muhammadiyah di Semarang 5–7 Juli 1998.
Mayoritas peserta menginginkan agar warga Muhammadiyah membangun partai yang baru. Namun dalam keputusan resmi dinyatakan, bahwa Muhammadiyah tidak akan pernah berubah menjadi parpol, juga tidak akan membidani lahirnya sebuah parpol. Tetapi warga Muhammadiyah diberi keleluasaan untuk terlibat dalam parpol sesuai dengan minat dan potensinya.
Dengan modal pendukung dari kalangan Muhammadiyah dan ketokohan Amien Rais, PAN mengikuti Pemilu 1999 dengan optimistis. Digadang-gadang akan meruntuhkan dominasi partai lama, (Golkar, PDI, PPP) PAN hanya berada di posisi kelima dengan raihan 7,5 juta suara lebih dan mendapat 34 kursi di DPR.
Amien Rais yang diharapkan menjadi calon presiden bahkan lebih memilih untuk menjadi ketua MPR. Justru dengan posisinya yang strategis itu, Amien berubah menjadi 'King Maker'. Bersama kelompok parpol Poros Tengah, dia berhasil menjadikan Abdurrahman Wahid sebagai presiden pertama di era reformasi dalam pemilihan di MPR. Di tengah jalan pula, melalui skandal Bulog Gate, Amien Rais Cs yang melengserkan Gus Dur dan menggantinya dengan Megawati Soekarnoputri.
Di Pemilu 2004, PAN mencalonkan Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo sebagai capres dan cawapres namun kalah di putaran pertama. Pilpres itu akhirnya dimenangkan Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Jusuf Kalla.
Setahun kemudian, Amien Rais lengser dari pucuk pimpinan PAN di Kongres tahun 2005. Dia digantikan Soetrisno Bachir, pengusaha asal Jawa Tengah yang didukungnya. Dukungan Amien Rais itu terbukti ampuh di kongres-kongres PAN berikutnya. Hatta Rajasa yang menjadi ketua umum 2010-2015 juga terpilih berkat dukungannya.
Terakhir di Kongres IV PAN di Bali tahun 2015 lalu, Zulkifli Hasan yang mendapat dukungan Amien Rais unggul tipis 6 suara dari Hatta. Amien saat itu beralasan, ingin mentradisikan ketua umum PAN cukup satu periode seperti yang telah dia contohkan.
Virus Oligarki
Analis Politik Pangi Syarwi Chaniago menilai, kongres kali ini menjadi pembuktian apakah PAN tetap konsisten dengan nilai, agenda dan tradisi politik mazhab 'partai reformis' atau ikut-ikutan terjangkit 'virus oligarki' seperti partai lain. Amien Rais adalah sosok yang punya beban moral dan tanggung jawab memastikan PAN tetap pada trayek partai reformis.
"Di sisi lain kongres kali ini juga adalah pembuktian tesis apakah masih kuat pengaruh/cengkeraman Amien Rais? Adanya upaya memperlemah 'bargaining position' Amien Rais sebagai figur sentral dalam partai adalah kesalahan fatal. PAN tanpa Amien Rais akan kehilangan semangat juang dan disorientasi," kata Pangi kepada merdeka.com, Selasa (11/2).
"Upaya memosisikan diri berkonflik dengan Amien Rais oleh sebagian atau segelintir elite yang ingin berebut kursi ketua umum tentu sangat kontraproduktif dalam rangka upaya membesarkan partai. Maka jalan kompetisi yang demokratis tanpa saling meniadakan dan menyingkirkan adalah pilihan paling realistis," imbuhnya.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting ini menilai, partai politik sudah saatnya menjadi institusi yang modern, tidak lagi bergantung pada satu tokoh sentral atau figur. Sayangnya, ketergantungan pada figur ini malah hampir merata terjadi di semua parpol.
"Lepas dari perangkap rezim otoriter Soeharto, partai bukannya beranjak menjadi modern, malah menjadi elitis, dan figur sentris. Partai beramai-ramai bergeser menjadi partai feodal dan relasi patron klien, menjadi elitis dan membangun DNA oligarki kepartaian."
Pangi mencontohkan tren parpol yang menguat ke oligarki dan kartelisasi adalah PDIP, Nasdem, Gerindra, Demokrat dan sepertinya beberapa partai papan tengah juga akan ikut-ikutan. Buktinya adalah hampir tidak terjadi pertukaran elite secara reguler, bahkan anak ketua umum sudah disiapkan untuk menggantikan dan parpol dikelola tidak ubah seperti mengelola perusahaan keluarga.
"Jualan partai pada pemilu bukan program atau ideologi partai namun gula-gula, figur populis, uang dan politik identitas," cetusnya.
Oligarki yang mengancam, lanjut Pangi, terbukti dengan elite-elite partai mulai meneriakkan slogan-slogan antidemokrasi dengan dalih sebagai sistem politik yang mahal, tidak efisien dan mengidap bahaya politik identitas.
"Maka ini ujian bagi PAN apakah akan menjadi partai oligarki atau tetap menjadi partai demokratis yang selama ini menjadi ciri khasnya. Pak Amien Rais tidak mau PAN menjadi partai oligarki, walaupun pak Zulkifli besannya, tetap dia ingin regenerasi di internal PAN. Ini uji kesaktian Amien Rais, apakah tetap punya pengaruh sebagai tokoh figur sentral atau kekuasaan Amien Rais runtuh di PAN sebab yang selama ini yang direstui dan mendapat dukungan Amien Rais tidak pernah kalah dalam kongres PAN," tutup Pangi.
(mdk/bal)