Perjuangan Dokter Oen Boen Ing Selundupkan Penisilin untuk Jenderal Soedirman
Salah satu dokter yang menyelundupkan penisilin untuk Jenderal Soedirman bernama Oen Boen Ing. Dokter nasionalis yang dikenal karena kiprah kemanusiaannya di Surakarta.
Suatu malam di pedalaman Jawa tahun 1949. Jenderal Soedirman beristirahat dalam sebuah pondok reot di pinggir hutan. Terbatuk-batuk sepanjang malam.
Mantel lusuhnya tidak mampu menahan udara dingin malam itu. Paru-parunya terus digerus penyakit paru-paru yang makin parah.
-
Apa profesi Putra Dokter Boyke, Dhitya Dian Nugraha? Mengikuti jejak sang ayah, Dhitya merupakan alumnus Universitas Indonesia. Namun, perjalanan akademisnya tidak berhenti di sana. Ia melanjutkan pendidikannya di luar negeri, tepatnya di Universiteit Leiden, Belanda, dari tahun 2017 hingga 2020 dengan mengambil jurusan psikologi.
-
Siapa yang dinikahi oleh Dhitya Putra Bungsu Dokter Boyke? Diketahui bahwa Dhitya resmi mempersunting sang kekasih yang bernama Reza Damayanti dengan mahar 52 gram logam mulia.
-
Apa profesi dari istri Dhitya Putra Bungsu Dokter Boyke? Dengan pernikahan mereka, bertambah lagi anggota keluarga dokter Boyke yang berprofesi sebagai dokter. Pasalnya, Reza Damayanti, sang menantu diketahui merupakan seorang dokter spesialis kejiwaan.
-
Kapan acara akad nikah Dhitya Putra Bungsu Dokter Boyke? Akad nikah putra bungsu dokter Boyke di pagi hari digelar dengan adat Jawa yang begitu kental.
-
Siapa sosok inspiratif yang mendapatkan gelar Doktor di Universitas Gent, Belgia? Namanya hingga kini tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang menerima gelar Doktor di Universitas Gent, Belgia.
-
Siapa yang dinikahi oleh Putra Dokter Boyke, Dhitya Dian Nugraha? Baru-baru ini, Dhitya resmi melepas masa lajangnya. Ia mempersunting Reza Damayanti, seorang dokter spesialis kejiwaan, dalam sebuah upacara pernikahan yang digelar secara mewah dengan nuansa adat Jawa yang kental.
Di luar, berjaga belasan pengawal Soedirman. Mereka tahu saat ini sang panglima menjadi buruan nomor satu pasukan baret merah Belanda, Korps Speciale Troepen (KST). Nyawa Soedirman dalam bahaya besar. Tak ada prajuritnya yang tak merasa haru melihat pengorbanan Pak Dirman.
Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 menduduki Yogyakarta yang menjadi ibukota Republik Indonesia. Gabungan pasukan baret hijau dan baret merah Belanda merebut Yogya hanya dalam hitungan jam. Mereka menangkap para pimpinan republik. Soekarno, Hatta, Sjahrir dan hampir seluruh pejabat negara saat itu.
Tapi Soedirman tidak mau menyerah. Dia menolak permintaan Soekarno untuk tetap tinggal di Yogyakarta. Saat itu ada perbedaan pendapat antara pemimpin sipil dan pemimpin militer. Soedirman memilih masuk hutan. Memimpin pasukannya dari belantara hutan dan mengorbankan perlawanan semesta sesuai perintah siasat nomor satu.
Soedirman memerintahkan seluruh prajurit TNI untuk membentuk kantong-kantong gerilya. Mundur dari daerah perkotaan yang dikuasai Belanda dan bersiap untuk bergerilya dalam waktu yang panjang.
Dimulailah perjalanan legenda itu. Panglima tertinggi TNI dengan paru-paru sebelah, dan tubuh ringkih bergerilya keluar masuk hutan. Memimpin anak buahnya dalam perang gerilya di seluruh Jawa dan membuktikan TNI masih ada.
Ibukota negara boleh jatuh, presiden boleh ditawan, tapi TNI tidak pernah menyerah. Benteng terakhir republik ada dalam hati para prajurit, pesan Jenderal Soedirman.
Namun kondisi kesehatan Soedirman terus memburuk. Akhirnya dia terpaksa ditandu. Konon, setiap prajurit berebutan mengangkut tandu sang jenderal itu karena kecintaan mereka.
Cukup sulit untuk mendapatkan obat kala itu. Pengawal Pak Dirman harus menyamar dan menyusup masuk kota. Di tengah blokade militer Belanda, obat di kota pun tak selalu tersedia.
Salah satu dokter yang menyelundupkan penisilin untuk Jenderal Soedirman bernama Oen Boen Ing. Dokter nasionalis yang dikenal karena kiprah kemanusiaannya di Surakarta.
"Dalam perang tersebut, Dokter Oen ikut memasok penisilin untuk sang jenderal. Kita tahu, stok penisilin dan obat lainnya di masa perang merupakan hal langka dan pokok. Berkat penisilin ini, Dokter Oen ikut menyambung napas perjuangan rakyat Indonesia," kata Sejarawan Solo Heri Priyatmoko kepada merdeka.com.
Tindakan Dokter Oen ini sangat berisiko. Jika ketahuan sudah pasti akan ditembak mati Tentara Belanda. Namun sang dokter ini nekat saja. Ternyata tak cuma penisilin, dokter Oen juga sering mengirimkan obat-obatan untuk para pejuang.
Darimana dia bisa mendapatkan obat-obatan ini?
"Itu memang Dokter Oen temannya banyak. Dari teman-temannya itu dia memperoleh obat atau penisilin. Temannya ada yang jualan obat. Ada yang punya toko obat China dan lain-lain. Sehingga dikumpulkan dan untuk digunakan jaman perjuangan," beber Ketua Pembina Yayasan Kesehatan Panti Kosala Solo, Dokter Handojo Tjandrakusuma saat berbincang dengan merdeka.com.
Mengobati Pejuang di Garis Depan
Perang Kemerdekaan juga berkobar di Solo. Sejak 7 Agustus 1949, pasukan TNI dari berbagai kesatuan telah mengepung posisi Tentara Belanda di Kota Solo. Salah satu yang terkenal karena keberaniannya adalah para Tentara Pelajar. Tembak menembak tak pernah berhenti.
Seringkali anggota TNI yang terluka disembunyikan dalam rumah-rumah penduduk. Salah satu dokter yang berani menembus desingan peluru untuk menyelamatkan nyawa para pejuang itu adalah Dokter Oen Boen Ing. Hal itu dilakukannya berkali-kali.
"Dokter Oen ikut menolong dan mengobati para tentara pelajar yang sakit. Dia rela masuk ke area berbahaya untuk menyelamatkan mereka," kata Dokter Handojo Tjandrakusuma.
Sejarawan Heri Priyatmoko menilai hal ini dilakukan Dokter Oen karena terdorong oleh semangat nasionalisme dan kemanusiaan yang sangat tinggi. Dia pasti sudah siap menerima resiko terburuk jika ditangkap Tentara Belanda.
"Tanpa semangat nasionalisme dan rasa welas asih, tak mungkin Dokter Oen bersedia menyabung nyawa untuk merawat tentara pelajar yang terluka. Rasa takutnya ditikam dalam-dalam demi sebuah mimpi perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI," kata Heri
Tak heran para pejuang mengidolakan dokter Oen. Kadang dia juga memberikan surat keterangan berobat, agar pejuang yang menyamar bisa melintas masuk ke daerah yang dikuasai Belanda.
©Yayasan Panti Kosala
Dokter Wong Cilik
Kiprah Dokter Oen Boen Ing untuk kemanusiaan menjadikannya semacam legenda kemanusiaan di Solo. Sang dokter terkenal karena membuka praktik pukul 03.00 dini hari. Pasiennya kebanyakan wong cilik seperti penarik becak, kuli angkut hingga pedagang pasar.
Dokter Oen juga sangat dekat dengan berbagai kalangan di Kota Solo. Dia diangkat menjadi dokter keluarga keraton Mangkunegaraan Solo sejak tahun 1944 hingga akhir hayatnya. Sosoknya masih diingat sebagai dokter yang penuh rasa welas asih pada pasien miskin.
“Dia tidak pernah mau menerima pembayaran dari pasien. Tak jarang dia justru membayar pembelian obat yang yang dibutuhkan oleh pasien,” kata Abdidalem Pariwisata Pura Mangkunegaran Solo, Mas Ngabehi Joko Pramodyo.
Dokter Oen juga pernah memberikan puluhan benda pusaka ke Keraton. Yang unik, banyak dari benda-benda yang diberikan pasiennya. Padahal dokter Oen sudah menolak, namun mereka tetap memaksa untuk memberikannya sebagai hadiah.
Pura Mangkunegaran memberikan gelar Kandjeng Raden Toemenggoeng (KRT) Hario Obi Darmohoesodo pada 11 September 1975. Pemerintah Indonesia juga menganugerahkan Satya Lencana Bhakti atas jasa-jasa dokter Oen Boen Ing pada tanggal 30 Oktober 1976. Padahal Dokter Oen tak pernah minta apa-apa atas semua jasa yang dilakukannya.
Tanggal 30 Oktober 1982, Dokter Oen meninggal dunia dalam usia 79 tahun. Sosoknya terus diingat sebagai seorang pejuang kemanusiaan bagi semua golongan. Puluhan ribu orang mengantarkan jenazahnya untuk dikremasi. Itu pesan terakhirnya. Dokter Oen tak mau kelak nisannya dikultuskan oleh masyarakat.
Baca juga:
Sejarah Hari Pers Nasional 9 Februari, Ketahui Peran dan Tugasnya
Peluru Ini Jadi Bukti Indonesia Pernah Perang dengan Malaysia, Ditemukan TNI di Hutan
Asri dan Banyak Patung Unik, Ini Potret Omah Petroek Rumah Romo Sindhunata di Sleman
Kisah Hidup Shigeru Ono, Samurai Jepang yang Membela Kemerdekaan Indonesia
Sejarah Gedung Perundingan Linggarjati, Pernah Jadi 'Gubuk Janda' hingga Hotel