Pilkada gabungan, solusi atas semua masalah
Pilkada gabungan bisa tekan biaya tinggi dan hindari konflik. Pemerintah daerah pun akan solid.
Perdebatan RUU Pilkada akan mencapai puncak, Kamis (25/9). DPR akan memutuskan, apakah pilkada langsung oleh rakyat diteruskan, atau pilkada oleh DPRD menggantikannya. Yang pertama didukung oleh PDIP, PKB, Partai Hanura; sedang yang kedua didukung oleh Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, Partai Gerindra.
Kelompok pertama adalah koalisi partai yang mengusung Jokowi-Kalla dalam Pemilu Presiden 2014 lalu, sedang kelompok kedua adalah koalisi partai yang mengusung pasangan Prabowo-Hatta. Sejauh ini Partai Demokrat mendukung pilkada langsung. Namun banyaknya anggota Fraksi Partai Demokrat yang tidak duduk lagi di DPR, menyebabkan keraguan, partai ini tak solid mendukung pilkada langsung.
Alasan utama yang sering disampaikan oleh kelompok pendukung pilkada oleh DPRD adalah bahwa selama 10 tahun terakhir ini pilkada langsung lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Hal ini ditunjukkan oleh banyak korupsi yang membelit kepala daerah; kepala daerah dan wakil kepala daerah pecah kongsi sehingga pemerintah daerah tidak efektif; dan terjadi konflik horisontal meski kasusnya sedikit. Padahal penyelenggaraan pilkada memakan banyak biaya.
Jika itu alasannya, maka jawabannya adalah rekayasa pilkada. Pokok masalahnya adalah bagaimana memainkan sistem pemilu guna menghindari biaya politik tinggi, baik yang ditanggung APBD untuk penyelenggaraan, maupun yang ditanggung pasangan calon. Biaya tinggi yang terakhir ini selalu dikedepankan Mendagri Gamawan Fauzi sebagai akar korupsi yang menjerat kepala daerah. Jadi, perdebatan soal filosofi dan konstitusi, tidak terkait dengan soal ini.
Bicara rekayasa pilkada, berarti bicara soal rekayasa sistem pemilihan. Sistem pemilihan adalah hubungan antar-variabel teknis pemilu untuk mengkonversi suara (dari pemilih) menjadi kursi (yang akan diduduki calon terpilih). Setidaknya ada enam variabel teknis pemilu, namun untuk pilkada yang harus diperhatikan adalah metode pencalonan, formula calon terpilih, dan waktu penyelenggaraan.
Pada metode pencalonan, selama ini ditempuh dua jalur: pencalonan oleh partai politik dan pencalonan perseorangan atau jalur independen. Pencalonan partai politik ada dua jenis, yakni oleh partai yang memiliki kursi DPRD dan partai yang tidak punya kursi di DPRD. Pada partai yang tidak punya kursi inilah yang sering terjadi keributan.
UU No 32/2004 menyebutkan gabungan partai politik yang meraih suara sedikitnya 15% dalam pemilu legislatif bisa mengajukan pasangan calon. Yang terjadi, banyak partai gurem ini pengurusnya tidak jelas, jika pun jelas sering menarik diri dalam proses pencalonan sehingga menimbulkan keributan. Inilah yang menjadi salah satu sumber konflik. Oleh karena itu, partai tak berkursi, sebaiknya mengikuti jalur independen saja.
Ketentuan bahwa partai atau gabungan partai yang punya sedikitnya 15% kursi di DPR bisa mengajukan pasangan calon juga mendorong lahirnya praktek jual beli berkas pencalonan. Inilah salah satu sumber mahalnya biaya politik yang harus ditanggung calon. Untuk menghindarinya gampang saja: bebaskan pencalonan. Artinya, partai yang punya kursi di DPR bisa mengajukan pasangan calon.
Tentu hal ini akan menjadikan jumlah calon sangat banyak. Ya, jika masih memakai putaran kedua. Tetapi jika ketentuan disederhanakan, di mana pasangan calon yang meraih suara terbanyak (simple majority) yang menang, maka mau tidak mau partai politik akan berkoalisi mendukung dua atau tiga pasangan calon yang kuat. Jika ada pasangan calon lain, itu hanya pelengkap saja.
Di sinilah variabel kedua, yakni formula calon terpilih perlu diubah. Selama ini jika tidak ada pasangan calon yang meraih sedikitnya 30% suara, maka akan dilakukan putaran kedua. Ketentuan ini harus diganti: siapapun yang meraih suara terbanyak, tidak peduli berapa persentase raihan suara itu, ditetapkan menjadi pasangan calon terpilih.
Pengaturan pencalonan juga bisa digunakan untuk menjaga soliditas pasangan calon terpilih dalam menggerakkan roda pemerintahan. Selama ini pasangan calon gubernur dan wakil gubernur serta bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota diajukan secara bersamaan, sehingga masing-masing merasa punya kontribusi yang sama dalam pemenangan. Akibatnya, ketika wakil gubernur dan wakil bupati/wakil wali kota tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, mereka ngambek. Hubungan retak.
Untuk menghindari hal itu, maka mekanisme pencalonan diubah. Pertama, partai atau koalisi partai menetapkan terlebih dahulu calon gubernur atau calon bupati/wali kota. Setelah itu, mereka menunjuk calon wakil gubernur dan calon wakil bupati/wakil wali kota. Dengan demikian, sedari awal para wakil ini akan loyal kepada gubernur dan bupati/wali kota, karena mereka menjadi wakil atas penunjukan gubernur dan bupati/wali kota.
Variabel ketiga soal waktu penyelenggaraan. Penyelenggaraan pilkada yang berserakan waktunya antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, telah menggelembungkan dana penyelenggaraan yang diambil dari APBD. Dananya akan semakin bengkak jika ada putaran kedua. Gagasan menggabungkan penyelenggaraan pilkada (atau biasa disebut pilkada serentak) menjadi pilihan strategis.
Hitung-hitungannya sederhana saja. Sekitar 65% biaya penyelenggaraan pemilu tersedot untuk membayar petugas pemilu, mulai dari KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan KPPS. Juga Bawaslu dan jajarannya ke bawah. Mereka dibayar berdasarkan even pemilu, bukan berdasarkan volume pekerjaan. Meskipun pemilu legislatif lebih berat, tapi honornya sama pada saat pemilu presiden atau pilkada. Maka lebih banyak pemilu digelar, maka lebih banyak honor yang harus dibayarkan.
Oleh karena itu, jika pilkada gubernur pelaksanaannya digabungkan dengan pilkada bupati/wali kota, maka biaya bisa dihemat, sebab petugas menjalankan dua pemilu tapi honornya tetap satu. Jika total pilkada se Indonesia mencapai Rp 60 triliun, maka pilkada gabungan bisa bisa menghemat biaya sampai Rp 20 triliun dalam kurun lima tahun.
Pilkada gabungan juga menjamin kontrol kuat atas penyelenggaraan, karena pilkada menjadi isu nasional sehingga semua pihak ikut terlibat dalam pengawasan. Lebih dari itu, pilkada gabungan bisa mencegah kemungkinan terjadinya konflik, karena potensi konflik sudah terdeteksi sejak dini. Selama ini sumber konflik sebetulnya lebih karena KPU daerah tidak beres bekerja. Nah, dengan kontrol ketat dari KPU, maka mereka yang kinerjanya buruk, bisa langsung ditindak dan diganti. Mekanisme ini cukup berhasil menyelesaikan ketegangan pilkada di beberapa daerah dua tahun terakhir.
Yang lebih penting dari pilkada gabungan adalah kecenderungan partai politik untuk membangun koalisi yang sama antara pilkada gubernur dengan pilkada bupati/wali kota. Maksudnya, jika Partai A, Partai B, dan Partai C berkoalisi mengajukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, maka koalisi yang sama juga akan bertahan untuk mengajukan pasangan calon bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota dalam pilkada bupati/wali kota di provinsi tersebut.
Dengan demikian hasil pilkada nanti akan menunjukkan kecenderungan yang sama, yakni gubernur dan wakil gubernur serta bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota berasal dari partai atau koalisi partai yang sama, sehingga akan memudahkan praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemerintahan efektif pun lebih mudah tercapai karena sistem mendorongnya ke sana. Jika kinerja buruk, itu lebih pada kemampuan individu kepala daerahnya.
Jadi, dampak buruk pilkada langsung selama ini, sesungguhnya ada solusinya, yakni rekayasa sistem pemilihan. Keberhasilan rekayasa sistem pemilihan ini tidak hanya ditopang teori-teori ilmu politik dan sosiologi, tetapi juga pengalaman negara-negara lain yang menganut sistem pemerintahan presidensial, seperti di Brasil, Argentina, dll. Tetapi kalau hasrat berkuasa sudah tak tertahankan, teori dan praktik keberhasilan juga diabaikan. Mereka buta tuli dan mematikan nurani sendiri. Menjadi tidak waras.