Problem media, pro atau anti-Jokowi
Jurnalisme menuntut netralitas. Tapi muskil bagi wartawan yang pemilik medianya ikut bermain pemilu.
Sehari setelah Jokowi dideklarasikan sebagai calon presiden PDIP , saya mendapat SMS dari mantan wartawan yang pernah menjabat kepala daerah. "He he merdeka.com kok jadi sangat Jokowi ya?" Segera saya jawab, "Lah barusan saya dapat SMS dari kawan aktivis mahasiswa dulu, katanya merdeka.com terlalu banyak mengutip orang-orang yang tak suka Jokowi nyapres."
Begitulah, tak gampang menjadi media yang independen dan netral di tengah pertarungan politik demokratis menjelang pemilu. Sejak Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009, selaku jurnalis dan pimpinan media, saya selalu mendapat komentar bahkan komplain dari banyak pihak yang merasa media tidak fair.
Mereka menuduh media saya, pro partai atau calon tertentu, anti atau setidaknya tidak simpati pada partai atau calon yang lain. Meski saya bisa menunjukkan bukti netralitas dan sikap adil, mereka tidak menerima setulus hati. Saya tahu, mereka ingin media saya memihak ke partainya atau calon yang diusungnya.
Bagi mereka yang belajar atau bekerja di dunia jurnalistik pasti tahu, terdapat lima prinsip jurnalisme: akurat, obyektif, fair, berimbang, dan netral. Lima prinsip itulah yang melandasi lahirnya kode etik jurnalistik, sehingga bisa dipastikan, jika salah satu prinsip itu dilanggar, maka sudah pasti media melanggar kode etik jurnalistik.
Sungguh tidak mudah menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme tersebut dalam praktik pemberitaan media sehari-hari. Terlebih pada masa pemilu seperti sekarang ini. Berusaha bersikap netral saja, masih dikritik, apalagi tidak bersikap netral.
Namun rupanya kritik terhadap netralitas itu hanya ditujukan kepada media yang memang berusaha bersikap netral. Media yang tidak bersikap netral, dibiarkan saja. Oleh sebagian masyarakat kita, hal itu dianggap masalah pejabat berwenang (Kominfo, KPI , KPU , Bawaslu , Dewan Pers), bukan masalah rakyat kebanyakan.
Percuma saja mengkritik media yang jelas pemiliknya ikut menjadi pemain pemilu: ikut nyaleg atau nyapres. "Tapi, kami tidak bodoh dengan kampanye yang dilakukan pemilik media melalui medianya." Demikian kesimpulan obrolan di mulut gang rumah saya.
Lalu, bagaimana dengan dengan para wartawan yang bekerja di lingkungan media yang pemilik ikut bertarung dalam pemilu. Harus dikatakan, makan hati. Bagaimana tidak, sebelum menjadi wartawan mereka membayangkan akan jadi wartawan profesional: bergaji cukup, punya pengetahuan dan keterampilan memadahi, dan berpegang kode etik.
Tapi kini setiap hari mereka melanggar kode etik. Mereka harus menindih ke hati yang paling dalam atas nilai-nilai jurnalisme yang diyakini. Masih "untung" jika gaji berlipat, pengetahuan dan keterampilan pun mampat. Gaji besar pasti didapatkan para bos redaksi yang menjaga agar medianya tetap mengikuti kemauan pemilih. Pengetahuan dan keterampilan juga tidak bertambah karena setiap misi liputannya satu: menyukseskan calon presiden atau partai pemilik media.
Ini cerita reporter merdeka.com atas kisah kawan-kawannya yang mengemban misi menyukseskan calon presiden atau partainya pemilik media tempat mereka bekerja. Reporter merdeka.com itu mendapat tugas meliput kegiatan KPK .
Katanya, kalau Gubernur Banten Ratu Atut dkk dipanggil ke KPK , maka beberapa wartawan media tertentu diam saja. "Percuma saja, tidak akan dimuat," katanya. Kalau Bambang W Soeharto dkk, sekelompok wartawan cuek saja. "Kayak gak tahu saja, hubungan Bambang W. Soeharto dengan pemilik media saya," katanya. Pun demikian halnya kalau Anas Urbaningurm dkk diperiksa, beberapa wartawan tampak santai-santai. "Tak tahu deh, berita Anas tak laku di kantor saya."
Anda pasti tahu wartawan dari media apa yang berkeluh kesah seperti itu.
Baca juga:
Beda Soekarno dan SBY saat hadapi media
Kasus Risma dan kemandulan PDIP
SBY dan Demokrat: tanpa ideologi tanpa visi
Hanyut dalam cerita Dahlan Iskan
Pembodohan massal lewat layar kaca
-
Bagaimana hubungan Jokowi dan PDIP merenggang? Diketahui, hubungan Jokowi dengan partai Pimpinan Megawati Soekarnoputri itu merenggang saat keduanya beda pilihan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
-
Kapan Jokowi mencoblos? Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah melakukan pencoblosan surat suara Pemilu 2024 di TPS 10 RW 02 Kelurahan Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (14/2).
-
Apa yang dikatakan Habiburokhman tentang hubungan Jokowi dan PDIP? Habiburokhman menyebut, sejumlah orang yang kalah pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah move on, usai pesta demokrasi tersebut dianggap berakhir. "Mungkin dari 100 persen sudah 60 persen orang move on. Kemudian juga tahapan kedua hari ke hari misalnya adanya statement dukungan, statement selamat dari kepala-kepala negara penting di dunia itu mungkin membuat sekitar 80 persen orang move on. Terakhir penetapan KPU kemarin mungkin sudah 95 persen orang move on," jelasnya.
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Kapan Prabowo bertemu Jokowi? Presiden terpilih Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana kepresidenan, Jakarta, Senin (8/7) siang.
-
Siapa saja yang mendampingi Jokowi? Sebagai informasi, turut mendampingi Presiden dalam kegiatan ini adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, Gubernur Jambi Al Haris, dan Pj. Bupati Merangin Mukti.