Produk Apple dan Google pun pernah gagal
Kata orang bijak, kaum pesimis melihat kegelapan di terowongan, orang optimis selalu melihat cahaya di terowongan
Kita sering takjub ketika melihat sukses yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar. Yang menjadi perhatian orang, sering pada hasil akhir, atau output dari pendapatan bersih atau laba (margin). Terlebih ketika perusahaan tersebut berkembang biak, menggurita hingga merambah ke mana-mana.
Ketakjuban tersebut, akan menimbulkan banyak efek di publik. Antara lain misalnya, membuat orang berpikir untuk mengikuti jejaknya. Orang Sunda bilang, akan membuat pihak lain ngeriung (berbondong mengikuti).
Sukses yang dilakukan AirAsia dalam bisnis penerbangan dengan harga rendah, menggoda banyak perusahaan lain masuk ke dunia penerbangan LCC (low cost carrier). Ketika Bintang Toedjoe membuat minuman berenergi Extra Joss, maka banyak merek baru bermunculan menconteknya. Begitu pula ketika Sampoerna sukses membuat produk rokok mild dengan label A-Mild, dalam waktu tak berapa lama muncul puluhan produk-produk mild berbagai merek. Baik yang dibuat oleh pesaing utama maupun pesaing-pesaing baru yang tak diperhitungkan.
Masih ingat dengan minuman air mineral dalam kemasan (AMDK) bermerek Aqua? Sukses bisnisnya membuat banyak pihak berlomba membuat air mineral dengan berbagai merek, seperti Bonaqa, Aguaria, Club, Vit, Top Aqua, dan lain-lain. Begitu pula ketika Sosro membuat minuman teh dalam botol, maka Anda akan menemukan banyak teh kemasan bermacam merek mengikutinya.
Selain membuat orang mengikuti, sukses sebuah perusahaan juga menimbulkan persepsi bahwa yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, adalah kebenaran. Apa yang disampaikan oleh CEO-nya, dianggap sebagai mantra sukses. Produk yang dibuatnya, selalu ditunggu masyarakat. Orang kemudian menjustifikasi pembenaran-pembenaran sebagai kunci sukses tersebut. Meski hal itu tidak selalu benar.
Agar tidak melebar, kolom Inspira ini membatasi diri dalam dunia produk ICT. Di dunia ICT dewasa ini, orang begitu keranjingan dengan Apple. Semua produknya hampir selalu dinanti orang. Apapun yang disampaikan pendiri Apple, mendiang Steve Jobs adalah kebenaran.
Begitu pula dengan Google. Sebagai pemain utama di bisnis ICT global, Google akan ditunggu siapapun geliat dan produknya. Namun, apakah mereka tidak pernah gagal, jawabnya pernah.
Apple misalnya, pernah mencatat sedikitnya 11 produk dianggap gagal. Antara lain Open Doc, Cyberdog, HyperCard, Newton, Powerbook Duo, Mac G4 Cube, eWorld, MacTv, MacQuadra, Bandai Pippin, hingga Quick Take. Namun demikian, tidak semua produk itu benar-benar dimatikan. Sebab, produk tersebut dianggap tidak sesuai pada jamannya, atau lahir terlalu awal. Sehingga ketika dilakukan perbaikan, maka akan muncul dengan produk baru.
Cyberdog misalnya, produk dari Apple pada 1996 meski gagal, tapi terus menerus diperbaiki dan tetap dilakukan riset. Dan, web browser ini diyakini sebagai cikal bakal Safari browser saat ini. Sedangkan produk Newton pada tahun 1993, dianggap gagal. Namun setelah dilakukan perbaikan, dianggap sebagai cikal bakal iPhone dengan aplikasi location base system (LBS) yang sekarang deikenal sebagai iMap. Atau PowerBook Duo yang mengusung komputer ringan pada 1992, gagal total dan tak terdengar. Namun kemudian dilakukan riset lagi, dan diketahui permasalahannya di prosessor yang tidak kompatible. Begitu diketahui masalahnya, dengan ditemukannya prosesor compact (solid state disc — SSD), maka Apple pun — dengan bekal cikal bakal PowerBook Duo tersebut — sukses membuat Macbook Air. Dan masih banyak lagi kegagalan dari Apple, tapi ada yang memang dikubur tapi sebagian masih dikembangkan dan menghasilkan produk dahsyat baru.
Begitu pula dengan Google. Tidak semuanya sukses saat diluncurkan. Beberapa produk gagal Google antara lain adalah Google Video, Google Answer, Google Wave, Google Notebook, Google Buzz, Google Catalog dan lain-lain.
Google video misalnya, dirancang sebagai search engine yang powerfull untuk pencarian video. Namun, sejak diluncurkan 2005 tidak optimal. Bahkan gagal menandingi Youtube yang juga diluncurkan pada tahun yang sama. Akhirnya Google pun memilih membeli Youtube dengan nilai USD 1,65 miliar, daripada mengembangkan Google Video yang akhirnya ditutup 2009.
Google Buzz yang dirancang untuk menjadi jembatan microblogging dengan Facebook, gagal mendapatkan peran di masyarakat. Akhirnya ditutup segera. Juga Google Answer tak berhasil menyaingi Yahoo Answer. Diluncurkan pada 2002, Google Answer yang melakukan pendekatan memberikan poin bernilai uang untuk penanya dan penjawab yang benar, ternyata gagal total dan pada 2006 pun ditutup. Dan, masih beberapa contoh lagi yang menunjukkan, bahwa tidak semua yang dibuat perusahaan besar akan sukses semuanya.
Dari fakta-fakta di atas, maka bisa ditarik pelajaran, bahwa tidak semua perusahaan besar akan selalu sukses dalam membuat produknya. Pasti ada di antara sebagian kecil produknya yang gagal.
Namun demikian, bagaimana menghadapi produk yang gagal tersebut. Apple tampaknya memilih mengembangkan produknya yang gagal, yang di kemudian hari muncul dengan produk baru. Bila produknya dianggap tidak potensial, tak segan-segan menutup selamanya.
Google pun tak segan menutup selamanya bila produknya gagal. Akan tetapi bila diyakini bahwa ceruk marketnya ada, sementara produknya kalah dengan pesaingnya, Google tak segan membeli rivalnya. Seperti dalam kasus Youtube.
Bagi Apple dan Google, tidak ada masalah untuk mengakuisisi perusahaan lain. Nah, bagaimana bila produk perusahaan Anda gagal di pasaran? Menyerah atau tetap melakukan riset lanjutan? Kata orang bijak, kaum pesimis akan melihat kegelapan di terowongan, sedang orang-orang optimis selalu melihat ada cahaya di terowongan.
++
#Penulis adalah Sekjen APJII, penggiat KlikIndonesia, COO merdeka.com dan KapanLagi.com