Teknik pengambilan keputusan bisnis
Dalam kehidupan sehari-hari, ada dua arus besar dalam mengambil keputusan: intuisi dan data.
Dalam sepekan terakhir, utamanya selama seharian Rabu (15/1/14) kemarin, saya berkumpul dengan orang-orang ahli statistik. Tak terkecuali Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DR. Suryamin dan jajarannya. Kami aktif bertemu akhir-akhir ini, karena kebetulan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) tempat saya berkegiatan sosial nirlaba, sedang kerjasama tentang survei pengguna internet.
Setelah melakukan pertemuan dengan pers, kami mengadakan acara informal diskusi kecil. Meski diskusinya diselingi snack, karena ketemu dengan orang ahli dalam riset, maka arah pembicaraan pun tak jauh dari soal riset dan pemanfaatan statistik. Nah, yang menarik membicarakan tentang statistik dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan.
Dalam kehidupan sehari-hari, ada dua arus besar dalam mengambil keputusan: intuisi dan data. Orang yang mengambil keputusan dengan intuisi, bisa saja tepat karena berdasarkan pengalaman. Dengan pengalaman bertahun-tahun dan keyakinannya, orang yang memiliki intuisi kuat, akan mampu mengambil keputusan yang tepat (akseleratif).
Namun tak dipungkiri, banyak juga yang tidak yakin dengan intuisi yang dimiliki, karena banyak faktor, misalnya sering gagal dan kurangnya keyakinan. Untuk itu, dibutuhkan data. Dengan data-data yang benar, bisa membantu menghasilkan kesimpulan yang berguna untuk mengambil kesimpulan penting. Data ini akan memberikan alasan (reason) yang kuat menunjang argumentasi putusan.
Ok, kita masuk ke sebuah contoh soal saja. Misalnya, sebut saja si-Anwar mau membeli rumah. Dia galau, mau memilih yang mana. Rumah yang biru di komplek sebelah, atau yang rumah kecil halamannya luas, atau yang dekat pasar, atau apartemen? Untuk itu ada beberapa petunjuk untuk menentukannya: kemampuan dana (power budget), rumah ideal yang diharapkan (expectation), lingkungan yang diinginkan (objective), lokasi yang strategis (location), dsb.
Di antara keempat itu, harus dikuantifikasi. Tetapkan mana diantara keempat itu yang paling utama, artinya yang paling penting dan tidak bisa diganggu gugat. Perlu pembobotan misal 1 sd 5. Misalnya budget maksimal Rp 500 juta (bobot 5 - mutlak), rumah ideal ukurannya minimal 100 meter ada halaman dan tingkat (bobot 3 — tidak terlalu mutlak), lingkungan sekitar yang sehat buat keluarga (4 - cukup penting), dan lokasi yang strategis terutama jaraknya dekat dengan tempat kerja (2 — tidak harus).
Nah, setelah menentukan faktor-faktor di atas, maka baru mencari data mengenai opsi-opsi rumah yang akan dibeli. Setelah mencari, muncullah 3 opsi rumah sbb:
Rumah A: Harga Rp 600 juta, ukuran 105 m2, dekat dengan taman dan tempat ibadah, lokasi 60 km dari kantor.
Rumah B: Harga Rp 450 juta, ukuran 90 m2, lingkungan kumuh dan banyak pengangguran, lokasi 35 km dari kantor.
Rumah C: Harga Rp 650 juta, ukuran apartemen 2 kamar, lingkungan privacy, lokasi 5 km dari kantor.
Setelah dihitung, ternyata nilai untuk rumah A adalah 51, rumah B nilai 50, dan rumah C nilai 52. Kekuatan rumah C adalah lingkungannya sesuai dengan kebutuhan dan jaraknya dekat dengan kantor. Namun kelemahannya, harganya mahal.
Karena tahu harganya lebih mahal, maka harus lebih menghemat dan mencicil lebih mahal. Karena sudah tahu kelemahannya, maka si-Anwar pun siap-siap untuk ngirit, harus mencicil lebih mahal. Dia bisa mengompensasikan biaya transportasi yang mahal bila rumahnya jauh (60 km pilihan A) untuk dimasukkan sebagai biaya cicilan apartemen.
Barangkali belum tentu yang terbaik pilihannya, tapi paling tidak, ada alasan mengapa memutuskan rumah itu. Dan, kalaupun harus memilih salah satu opsi, tahu risiko yang akan dihadapi. Setiap pilihan, selalu ada risikonya. Ada yang risikonya besar ada yang risikonya kecil. Di situlah akan kelihatan, apakah Anda sebenarnya orang yang berani mengambil risiko (risk taker) atau cenderung menghindari risiko (risk avoid).
Dengan mengambil contoh memilih rumah, memang terasa mudah dan membantu. Kemudian, pembicaraan informal kami tiba-tiba berbelok ke soal pacar atau istri. “Apakah bapak-bapak ini juga memakai statistik untuk mencari pacar atau istri?” Sejenak, kami terdiam. Kemudian, semua menyebut faktor syarat pilihan: cantik, kaya, pintar. Ketika disinggung, mana bobotnya yang paling tinggi, kompak menjawab, tiga-tiganya.
Kami semua terbahak. Dan, saya pun jujur menyampaikan, barangkali untuk soal pacar atau istri, urusannya bukan dengan statistik, tapi lebih tepat intuisi. Sebab, faktor emosional yang lebih kuat. Maka, barangkali benar lagu Vina Panduwinata berjudul Logika, bahwa asmara tak kenal logika.
Belajar dari cara mengambil keputusan di atas, bila Anda melakukan usaha bisnis, manakah kecenderungan yang Anda lakukan? Mengandalkan data-data lalu mentabulasi dalam statistik yang argumentatif dan reasonable (masuk akal), atau mengandalkan intuisi atau perasan (feeling) dan keyakinan? Semua Anda yang menentukan.
+++
catatan: ada perbaikan judul dari sebelumnya, "Saat keputusan harus diambil"