Selamat memasuki tahun politik
Tahun politik berarti pemerintahan lumpuh. Ada yang salah dalam demokrasi kita.
Selamat datang 2013, selamat memasuki tahun politik!
Ya, 2013 dinamakan tahun politik. Disebut demikian karena sepanjang tahun ini akan banyak kejadian politik yang berkaitan dengan agenda politik nasional, yakni Pemilu 2014.
Pemilu 2014 terdiri dari dua rangkaian pemilu: pertama, pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, dan dilanjutkan; kedua, pemilu presiden untuk memilih presiden dan wakil presiden.
Jika 2013 saja sudah disebut tahun politik, 2014 yang merupakan tahun puncak pemilu, tentu juga disebut tahun politik. Hari H pemilu legislatif jatuh pada April 2014, pemilu presiden putaran pertama pada Juni 2014, dan jika diperlukan pemilu presiden putaran kedua dijadwalkan pada Agustus 2014. Dengan demikian, dalam kurun lima tahun sekali, kita punya dua tahun politik.
Bahkan jika kita perhatikan, tahapan pertama pelaksanaan pemilu legislatif sudah mulai Oktober 2012 lalu, ketika KPU menerima pendaftaran partai politik peserta pemilu. Keributan politik pun sudah mencuat: di satu pihak, sejumlah partai politik protes merasa diperlakukan tidak adil; di lain pihak, KPU, Bawaslu dan DKPP bertikai untuk merebut panggung politik.
Berbicara tahun politik memang berbicara tentang keributan politik, yang ditimbulkan oleh persaingan atau pertikaian dalam memperebutkan jabatan-jabatan politik. Meski yang bermain sesungguhnya calon dan partai politik, dampak persaingan atau pertikaian tersebut memengaruhi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Para pelaku bisnis menunda semua agendanya sampai hasil pemilu jelas; para birokat menahan diri tidak segera merealisasikan berbagai kebijakan karena khawatir ganti pejabat ganti kebijakan; bahkan para seniman dan pelaku dunia hiburan pun menunda jadwal tayang dan pentas, menunggu situasi tenang.
Yang bikin celaka banyak orang adalah keributan politik telah melumpuhkan pemerintahan, baik di lingkungan legislatif maupun eksekutif.
Bersamaan dengan pendaftaran partai politik peserta pemilu, Oktober lalu misalnya, semua pengurus partai politik yang menjadi anggota DPR, turun aktivitasnya. Mereka lebih terpanggil melaksanakan perintah partai politik untuk menyuksesakan verifikasi daripada menghadiri rapat-rapat DPR.
Itu baru masa pendaftaran partai politik peserta pemilu. Sudah bisa kita bayangkan kesibukan mereka pada masa pencalonan, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, hingga pelantikan.
Lepas pemilu legislatif, mereka sibuk lobi-lobi koalisi pencalonan presiden, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara pemilu presiden. Semua mestinya berakhir pada Oktober 2014 saat mana presiden dan wakil presiden terpilih dilantik. Namun masih ada kesibukan tersisa yang tak kalah menyita waktu: negosiasi kursi kabinet.
Presiden SBY sudah mengeluh tentang turunnya kinerja para menteri. Mungkin belajar dari periode pertama, SBY mengingatkan para pembantunya agar kegiatan politik menjelang pemilu tidak mengganggu kerja kabinet. Tetapi menteri partai politik mana yang peduli dengan peringatan itu? Bagi mereka pemilu adalah pertaruhan masa depan, sehingga harus didahulukan.
Jadi, tahun politik itu sama dengan tahun kelumpuhan pemerintahan. Fungsi pemerintahan untuk melindungi dan melayani warga negara, praktis terganggu bahkan berhenti. Jika dalam kurun lima tahun pemerintahan terdapat dua tahun politik, berarti pemerintah hanya punya waktu tiga tahun untuk bekerja.
Pada titik inilah kita bertanya-tanya: Apa gunanya punya pemerintahan tapi tidak efektif bekerja? Apa gunanya membentuk pemerintahan demokratis (melalui pemilu), tetapi hanya bekerja maksimal tiga tahun dari lima tahun periode kerja? Bahkan jika keributan pilkada gubernur dan bupati/wali kota dihitung, praktis rakyat di suatu daerah hanya dilayani secara penuh oleh pemerintah nasional dan daerah dalam satu tahun? Inikah buah demokrasi yang kita harapkan?
Tentu saja tidak! Salah satu tujuan demokrasi adalah membentuk pemerintahan efektif dalam melindungi dan melayani hak-hak warga negara. Jika demokrasi menjauh dari tujuan itu, maka ada yang salah dalam demokrasi kita. Di sinilah pemilu sebagai sarana utama demokrasi harus kita benahi agar prosesnya tidak menyalahi prinsip demokrasi dan hasilnya terbentuk pemerintahan efektif.