Setelah hotel dan mal, apartemen bakal kepung Yogyakarta
Dalam Perda tersebut, terdapat empat jenis rusun yang diatur, yaitu rusun umum, khusus, negara dan komersial.
Angin sejuk untuk kembali menata kota Yogyakarta berembus saat pemkot memoratorium atau menghentikan sementara izin pembangunan hotel di Kota Yogyakarta pada tahun 2014 lalu. Bahkan moratorium yang habis 2016 ini bakal diperpanjang hingga tahun 2019.
Alasan moratorium itu sendiri cukup logis karena tingkat okupansi hotel di Yogyakarta tidak sampai 70 persen. Okupansi yang melebihi 70 persen yang hanya berada di wilayah sekitar ring 1 kawasan Malioboro, sedangkan wilayah lain rendah.
Data Perhimpunan Hotel dana Restoran Indonesia (PHRI) DIY, tingkat okupansi hotel bintang di Kota Yogyakarta pada 2014 sebesar 57,48 persen dan non bintang (melati) 26,77 persen. Sedangkan 2015 tingkat okupansi hotel bintang 57,64 persen dan nonbintang 27,11 persen.
Untuk hotel bintang di ring I, yakni di seputaran Malioboro tingkat huniannya bisa 90 persen. Ring II atau keluar sedikit dari Malioboro tingkat huniannya mencapai 70-80 persen. Sedangkan ring III agak jauh dari Malioboro tingkat okupasinya 60-70 persen. Hingga Maret 2016 tercatat jumlah hotel di DIY ada 87 hotel bintang dan 1.100 hotel nonbintang atau melati.
Namun di tengah moratorium tersebut, DPRD Kota Yogya belum lama ini juga menelurkan Perda Rumah Susun (Rusun). Perda tersebut disahkan pada akhir Februari lalu.
Dalam Perda tersebut, terdapat empat jenis rusun yang diatur, yaitu rusun umum, khusus, negara dan komersial. Apartemen masuk dalam kategori rusun komersial.
Perda rusun sendiri sudah dicetuskan sejak tahun 2011 lalu, tetapi pembahasannya molor sehingga baru disahkan tahun ini. DPRD Kota Yogya menyebut bahwa Perda ini juga dibuat untuk menghindari kasus apartemen bodong yang marak terjadi di Kota Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Aturan yang dibuat untuk menghindari kasus penipuan apartemen bodong, yakni setiap pengembang yang hendak melakukan pemasaran wajib membuat pengikatan jual beli. Pengikatan jual beli tersebut baru bisa dilakukan jika pengembang sudah mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB), status tanah sudah jelas, serta keterbangunan sudah mencapai 20 persen.
"Kami tidak ingin, izin belum diperoleh namun sudah dijual ke mana-mana. Konsumen harus mendapatkan perlindungan," ujar Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Perda Rusun DPRD Kota Yogya, Tatang Setiawan beberapa waktu lalu.
Namun keberadaan Perda ini pun dipertanyakan oleh aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta. Benarkah warga Yogya sudah butuh apartemen dan rusun?
"Persoalan moratorium hotel saja belum selesai, karena ketika dimoratorium sudah masuk 104 izin hotel baru. Dari 104 itu 70 nya sudah diterbitkan izinnya, sisanya masih belum tahu. Nah kini malah dibuat Perda Apartemen dengan embel-embel rusun," ujar Direktur Eksekutif Walhi Yogya, Halik Sandera.
Menurut Halik, Pemkot dan DPRD Kota Yogyakarta menyebut bahwa Perda tersebut untuk menjawab persoalan kebutuhan rumah bagi warga Yogya. Dengan adanya rusun dan apartemen pembangunan bisa lebih ramping ke atas.
"Tapi apakah warga Yogya mampu membeli rusun atau apartemen yang harganya ratusan juta? Bisa saja yang membeli adalah mereka yang punya duit tetapi bukan warga Yogya," ujarnya.
Sebagai contoh, Halik menceritakan pembangunan sebuah apartemen di Kabupaten Sleman beberapa waktu lalu. Saat rencana pembangunan, sudah banyak orang yang memesan dan membayar booking fee. Belakangan diketahui ternyata perusahaan pengembang itu melakukan penipuan sehingga para calon membeli melaporkan kasus itu pihak berwajib.
"Baru ketahuan kalau ternyata para calon pembeli apartemen itu bukan warga Yogya, mereka orang luar semua. Nah kalau dengan skema serupa diterapkan, hotel dimoratorium tetapi izin apartemen dipermudah lalu apa bedanya. Lingkungan akan tetap tercemar juga berdampak terhadap sosial masyarakat sekitarnya," ujarnya.
Fakta lain yang ditakutkan Walhi adalah soal sumber air bersih. Nantinya warga dan pengelola bisnis skala besar seperti mal dan hotel termasuk juga apartemen akan berebut air dari PDAM.
Ketika pembangunan mal, hotel dan apartemen pemkot bisa meminta agar pengembang menggunakan air dari PDAM. Namun PDAM di Yogya sendiri menggunakan air tanah dalam untuk kemudian didistribusikan ke pelanggan.
"Sekarang saja PDAM belum bisa maksimal memberikan air bersih kepada warga pelanggannya, lalu bagaimana jika ditambah PDAM harus menyuplai skala besar seperti mal, hotel dan apartemen. Yang ada kran air untuk warga semakin dikecilkan dan dibuka kran yang lebar untuk mal dan hotel," ujarnya.
Dengan adanya Perda Rusun ini pun wajah Kota Yogya dipastikan akan kembali berubah. Gedung-gedung tinggi bernama rusun dan apartemen akan segera menghiasi kota gudeg.