Tak ada tempat bagi suntik mati di Indonesia
Tak ada tempat bagi suntik mati di Indonesia. Agama, hukum dan kesehatan menolak keras suntik mati di Indonesia. Secara hukum, eutanasia termasuk kategori pembunuhan sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359.
Dalam istilah moral, suntik mati disebut eutanasia. Kata ini merupakan istilah dari bahasa Yunani. Eutanasia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit. Dalam praktiknya biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan mematikan.
Permohonan suntik mati agar seorang pasien lepas dari penderitaan dan penyakitnya memang menjadi beban tak ringan. Keluarga seperti 'terdesak' rasa belas kasihan dan juga beban biaya rumah sakit yang tak sedikit. Kondisi ini dialami keluarga Humaida. Mereka melakukan gugatan agar dokter bisa menyuntik mati meski mereka sebenarnya tidak tega dan keputusan itu adalah hal tersulit.
Apakah eutanasia diperbolehkan di Indonesia?
Praktik eutanasia di Indonesia dilarang keras. Meskipun karena permintaan pasien atau keluarganya, hal tersebut tetap saja terlarang. Sampai saat ini tidak ada satu pun dokter di Indonesia melakukan eutanasia meski itu atas permintaan pasien atau keluarganya. Aturan itu terdapat dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Menteri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983.
"Hukum juga melarang dokter melakukan itu juga dalam kode etik mereka," kata Sekjen Kementerian Kesehatan, Untung Suseno kepada merdeka.com, akhir pekan lalu.
Secara hukum, eutanasia termasuk kategori pembunuhan sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359. Selain itu, sebagian besar agama dengan tegas melarang eutanasia dengan alasan apapun.
Ajaran Islam dan Kristen juga menolak tegas eutanasia. Larangan eutanasia dalam ajaran Islam sejalan dengan yang dirumuskan komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sekjen MUI, Cholil Nafis mengatakan, eutanasia haram hukumnya.
"Ini juga mengajarkan akan suatu pengharapan bahwa orang sakit itu akan sembuh jika dirawat di RS," katanya.
Dia mengutip ajaran Islam dalam QS Az-Zumar ayat 53. Allah SWT menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis menghadapi setiap musibah. Seorang mukmin harus senantiasa berjuang, bukan tinggal diam dan untuk berperang bukan lari.
Rohaniwan Katolik, Pastor Hironimus Pakenoni menjelaskan alasan dasar Gereja Katolik menolak praktik eutanasia. Praktik ini bertolak belakang dengan prinsip hormat terhadap kehidupan dan martabat luhur manusia. Ajaran iman Katolik yang menolak eutanasia terdapat dalam Magisterium Gereja. Selain itu sikap Gereja ini bisa ditemukan dalam dokumen-dokumen resmi Gereja, antara lain, Kongregasi Suci Ajaran Iman: Pernyataan tentang Eutanasia "Iura et Bona", 1980; Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae, art.64-67 (1995); Katekismus Gereja Katolik, no.2276-2279, dan seterusnya.
"Gereja melarang eutanasia yang bertujuan memperpendek hidup orang yang hampir meninggal, juga dengan intensi luhur sekalipun, yaitu untuk segera mengakhiri penderitaan tak tertahankan dari seseorang pasien, yang disebut mercy killing," kata Dekan Fakultas Filsafat Unika Widya Mandira Kupang ini.
Dalam hubungan dengan penilaian etis, gereja menggunakan prinsip Etika Keutamaan/Kebajikan, baik kebajikan teologal maupun moral. Bukan etika liberal-radikal, etika pragmatis-utilitaris, ataupun etika personalistis.
"Berdasarkan etika keutamaan, gereja menilai bahwa justru penderitaan itu juga merupakan bentuk partisipasi sadar dan sukarela manusia beriman (pasien, entah anak-anak, orang muda, dewasa, maupun lansia) dalam sengsara dan derita Yesus Kristus yang berpuncak pada kematian," lanjutnya.
Menurut Pastor Roni, dalam ajaran Kristiani, penderitaan seorang pasien merupakan bagian dari iman akan Yesus Kristus. Karena itu, sebagaimana Yesus sendiri yang taat dan rela menerima sengsara dan derita mengerikan hingga wafat demi keselamatan banyak orang, demikian juga hendaknya umat manusia.
"Sebagaimana manusia menerima dan mengalami segala yang baik, indah, sehat dan bahagia dengan rasa syukur, demikian hendaknya manusia menerima serta mengalami semua pengalaman derita dan sengsara dengan rasa syukur pula," jelasnya.
Sementara itu, dilihat dari tinjauan sosial, Sosiolog Universitas Gajah Mada, Soeprapto mengatakan, eutanasia tergolong hal baru di Indonesia. Seperti hukum kebiri atau hukuman di kursi listrik, eutanasia merupakan praktik yang tergolong tidak lazim.
Meski dilarang tegas secara moral, keagamaan dan KUHP, eutanasia diterapkan kasus-kasus medis tertentu. Khususnya di luar negeri. Misalnya ada seorang pasien menderita sakit parah dan hidupnya tergantung pada alat kedokteran. Jika alat itu dicabut maka sebenarnya sudah mati secara medis. Dalam bahasa moral, perbuatan ini disebut eutanasia pasif.
"Dari kacamata sosiologi ada perbedaannya. Sehingga kalau alat ini dicabut itu bukan membunuh. Tapi kemudian kalau disuntik itu kan sebuah kesengajaan," jelas dia.
Namun demikian, Soeprapto berpendapat hukum tentu akan menjangkau warganya. Jika permintaan akan eutanasia makin mengemuka, bukan tidak mungkin larangan itu perlu ditinjau ulang. Namun dengan mempertimbangkan kondisi tertentu.