Tekad PDIP mengejar kursi ketua DPR
Mengubah UU MD3 sekadar mengejar kursi ketua DPR, tidak pantas dilakukan PDIP.
Berpolitik berarti mengakumulasi kekuasaan tiada henti. Sebab, begitu lengah, kekuasaan tidak hanya berkurang, tetapi bisa beralih ke pihak lawan. Makanya jangan pernah merasa puas dengan kekuasaan yang sudah di tangan. Terus bekerja, terus bergerak, terus bermanuver.
Demikianlah yang terjadi pada setiap partai politik. Selalu mencari peluang dan menunggu momentum datang untuk menambah jaya kuasa. Kali ini mari melihat sepak terjang PDIP. Partai ini terus mengincar kursi ketua DPR, yang kini dikuasai Partai Golkar.
Hari-hari belakangan ini, melalui fraksinya di DPR, PDIP bergerilya untuk mengubah Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No 17/2014), atau biasa disebut UU MD3.
Dalihnya, seperti dikatakan Wakil Ketua Fraksi PDIP, Arif Wibowo, demi penataan kelembagaan dan efektivitas sistem presidensial. “Ini sebagai bagian dari paket undang-undang untuk membenahi sistem politik,” tegasnya.
UU No 17/2014 disahkan DPR lama (2009-2014), sebelum DPR baru (2014-2019) hasil Pemilu 2014 dilantik. Semula disepakati, bahwa pimpinan dewan dan alat kelengkapan (komisi, badan legislasi, dan badan kerjasama antarparlemen) ditetapkan secara proporsional berdasarkan jumlah kursi fraksi. Inilah yang berlaku selama ini.
Ketentuan tersebut memastikan PDIP akan menduduki kursi ketua DPR dan beberapa ketua dan wakil ketua alat kelengkapan, sebab partai inilah yang memiliki kursi paling banyak di DPR. Saat itu, PDIP sudah mempersiapkan nama Puan Maharani, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP.
Namun KMP yang kalah dalam pemilu presiden tetapi menguasai mayoritas DPR, berganti haluan. Mereka usul agar pimpinan dewan dan alat kelengkapan dipilih dari dan oleh anggota. KIH menolak keras. Tapi KMP menang setelah mendapat dukungan Partai Demokrat. Mimpi PDIP untuk memiliki kursi ketua DPR pun ambyar.
Setahun pemerintahan hasil Pemilu 2014 berjalan, peta politik berubah. PAN keluar dari KMP, PKS mendekat ke Presiden Jokowi. Partai Golkar dedel duel oleh konflik internal. Hanya Partai Gerindra yang solid dan berteguh menjadi oposisi. Situasi inilah yang dimanfaatkan PDIP: meminta kembali “hak politiknya”.
Tidak ada salahnya bagi PDIP untuk mengejar kursi ketua DPR. KMP pun tidak keberatan dengan hasrat PDIP. Bahkan, persetujuan KMP untuk menjadikan Ade Komarudin sebagai ketua DPR meneruskan jabatan Setya Novanto, disertai dengan peringatan: Anda jadi ketua tidak sampai akhir masa tugas, karena kursi itu aslinya jatah PDIP.
Partai Golkar dan Ade Komarudin tak bisa mengelak dari situasi tersebut. Oleh karena itu, daripada tidak mendapatkan apa-apa, lebih baik mengiyakan peringatan itu. Mereka lihat potensi PDIP dan KMP untuk bikin keributan di DPR: mendesak revisi UU No 17/2014 sekarang! Jika sampai terjadi, Partai Golkar dan Ade Komarudin bisa gigit jari.
PDIP memang dalam kepercayaan tinggi. Namun partai ini tampaknya masih menunggu momen yang tepat. Mereka menyadari, jika perubahan UU MD3 dilakukan sekarang, maka sama saja dengan menciptakan keributan baru di parlemen. Dan ini akan mengganggu efektivitas kerja Presiden Jokowi.
PDIP mesti konsisten dengan apa yang dikatakan wakil ketua fraksinya, bahwa perubahan UU MD3 dilakukan demi penataan kelembagaan dan efektivitas sistem presidensial. Perubahan harus dilatari pertimbangan komprehensif. Perubahan UU MD3 harus dikaitkan dengan perubahan undang-undang partai politik dan undang-undang pemilu, undang-undang kementerian negara, bahkan undang-undang kepresidenan.
Jadi, meski menjadi fitrahnya untuk mengejar kekuasaan, dalam mengubah UU MD3 PDIP mestinya bukan sekadar bertujuan mengejar kursi ketua DPR. Apalagi sekedar memberi tempat yang lebih mulia kepada Puan Maharani. Sebab, posisi Puan saat ini pun tidak kalah mulianya.