Tetap indah tanpa reklamasi
Reklamasi akan menciptakan kerusakan alam.
Aku mendengar suara…Jerit makhluk terluka.
Luka, luka...hidupnya...luka.
Orang memanah rembulan.
Burung sirna sarangnya.
Sirna, sirna...hidup redup.
Alam semesta luka.
Banyak orang hilang nafkahnya.
Aku bernyanyi menjadi saksi.
Banyak orang dirampas haknya.
Aku bernyanyi menjadi saksi.
Begitu bunyi lagu berjudul 'Kesaksian' dinyanyikan Iwan Fals akhir bulan lalu dalam konser Suara Bumi di kafe Rolling Stone, Jakarta Selatan. Konser itu digelar untuk menyuarakan penolakan terhadap proyek reklamasi Teluk Benoa, Bali.
Pagelaran itu juga menyerukan pembatalan peraturan presiden nomor 51 tahun 2014. Aturan ini dinilai mengakomodasi kepentingan investor untuk melakukan reklamasi di Teluk Benoa.
Superman is Dead (SID), grup band asal Pulau Dewata juga lantang bersuara menolak reklamasi di Teluk Benoa. Mereka mengatakan konser itu merupakan bentuk perlawanan atas ketidakjujuran dan kerakusan. "Kita bisa melawan itu dengan hal lebih masuk akal, dengan seni dan musik," ucap Jerinx, penabuh drum SID.
Ketakutan akan rencana reklamasi di Teluk Benoa rupanya dirangkum oleh Forum Rakyat Balik Tolak Reklamasi tergabung dalam For Bali. Dalam analis kertas For Bali diperoleh merdeka.com menyebutkan dampak reklamasi Teluk Benoa begitu besar. Dampak lingkungan dimulai dengan krisis air bersih, alih fungsi kawasan pertanian, sampah dan akhirnya mempengaruhi kualitas hidup manusia di Bali.
Koordinator For Bali Wayan Gendo Suadarma mengatakan dalam catatan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata ketersediaan kamar hotel hingga vila dan pondok wisata di Bali mengalami kelebihan kamar mencapai 9.800. Hasil penelitian di 2010 bersama Universitas Udayana itu mencatat 5.500 kamar hotel cukup melayani kebutuhan hingga 2015. "Kalau reklamasi untuk membangun pusat pariwisata, artinya tidak ada keseimbangan di Bali, sedangkan Bali Selatan sudah terlalu sumpek," kata Gendo melalui telepon selulernya semalam.
Reklamasi Teluk Benoa justru akan menciptakan kerusakan alam di Bali Selatan lantaran kegiatan pariwisata di tempat ini sudah begitu tidak terkendali. Bali dulu dikenal dengan pariwisata budaya kini lebih berorientasi pariwisata massal. Penyebabnya, pergantian Gubernur Bali Ida Bagus Mantra ke Gubernur Ida Bagus Oka secara tidak langsung mendegradasi sosial budaya hingga lingkungan di pulau Dewata. " Ancaman krisis air bersih, alih fungsi lahan dan lain-lain," ujar Gendo.
Gendo, juga aktivis lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), menyebutkan krisis lingkungan hidup di Bali terjadi karena industri pariwisata meletakkan pertumbuhan jasa pariwisata, terutama sektor akomodasi. Pembangunan ini pun, kata dia, terjadi di Bali Selatan. "Harusnya ada moratorium lebih jelas dan tegas," katanya.
Alih fungsi lahan perairan di Teluk Benoa bakal direklamasi justru akan menambahkan persoalan lingkungan bagi Bali. Kajian konservasI internasional menyebutkan akibatnya akan mengurangi daya tampung air mengingat teluk ini merupakan muara dari sungai di Bali Selatan. Jika dibiarkan akan terjadi luapan air ke daerah letaknya lebih rendah. Daerah-daerah bakal terancam banjir itu ialah Sanur Kauh, Suwung Kangin, Pesanggaran, Pemogan, Simpang Dewa Ruci, Bandara Ngurah Rai, dan Tanjung Benoa.
Gendo menambahkan Bali tidak membutuhkan ikon pariwisata karena hakikatnya budaya dan alam merupakan daya pikat wisatawan datang ke Pulau Dewata. "Bali itu dikenal karena budaya dan alamnya. Jadi reklamasi itu tidak perlu dilakukan karena berdampak pada lingkungan di sekitarnya," tuturnya.