Trotoar bermasalah karena pejalan kelas bawah
Pemerintah DKI enggan menciptakan trotoar nyaman lantaran menganggap pejalan kaki kelas bawah.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo Februari lalu melansir sebuah pernyataan tentang rencana uji coba trotoar percontohan di beberapa tempat di Jakarta. Dia menyatakan penertiban akan dimulai bulan ini.
Fauzi mengajak berbagai pihak terlibat dalam perumusan dan pelaksanaan di lapangan. Salah satu tokoh yang diundang adalah Marco Kusumawijaya, pendiri sekaligus Direktur Ruang Jakarta (RUJAK): Centre for Urban Studies, sebuah lembaga yang fokus pada kajian tata kota.
Saat ditemui di kantornya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis siang pekan lalu Marco mengaku hanya diundang sekali membahas hal itu oleh Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) atas nama Gubernur. “Iya saya diundang, itu tanggal 28 Maret, kemudian saya bicara tentang semua masalah trotoar dan tata ruang seperti dalam forum yang mengundang saya atau dalam tulisan blog saya, tidak ada bedanya,” ujarnya kepada merdeka.com dibarengi tawa panjang.
Trotoar di Jakarta merupakan persoalan rumit. Jangankan membicarakan tentang ketersediaan trotoar ramah untuk pejalan, yang ada sudah dikuasai pengendara motor. Belum lagi ulah sebagian orang yang menghalang-halangi pejalan kaki dengan memasang pot bunga atau taman di tengah trotoar.
Menurut Marco, yang bersepeda ke kantor, Jakarta adalah kota penuh stratifikasi kelas. Pejalan kaki yang identik menggunakan angkutan umum dianggap kelas bawah. Karena stratifikasi kelas itu, kata dia, mereka tidak mendapatkan pelayanan memadai.
Sukris Triyono, Kepala Satuan Tugas Polisi Pamong Praja Kecamatan Senen, mengaku pihaknya sudah mengerahkan segenap upaya buat menciptakan pedestrian tertib dan aman di wilayahnya. “Kendala kami masih kurang personel. Sekarang sekitar 90 orang, sedangkan kebutuhan minimal kurang lebih 140 orang,” ucapnya.
Rujak memperkirakan Satuan Polisi Pamong Praja seluruh Jakarta saat ini sekitar tujuh ribu personel. “Kota ini harus dirawat terus, tidak bisa dirawat dengan proyek. Masak, untuk menertibkan trotoar harus pakai uang proyek, bukankah itu tugas rutin,” katanya.
Menurut Marco, salah satu upaya menertibkan trotoar, aparat pemerintah harus cepat cepat menangkap sinyal permasalahan sekitar. Dia mencontohkan 240 lurah se-Jakarta bisa keliling dua jam saban hari buat melihat kondisi trotoar di daerahnya.