2 Jari diamputasi, wanita asal Bandung ini tuntut RS bersalin
"Belakangan saya baru tahu, kalau ternyata cairan kompres itu sudah tidak dijual lagi di apotik sejak tahun 1999, karena memang pada bagian luar membuat dingin, tapi bisa merusak bagian jaringan di dalamnya," kata Tina.
Tina Retna (37) melaporkan dugaan malapraktik oleh sebuah rumah sakit bersalin kawasan Jalan Babakan Tarogong, Bandung ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dua jari wanita tersebut terpaksa diamputasi usai menjalani perawatan di rumah sakit tersebut.
Tina sempat menjalani kuret pada kandungannya pada 2015 lalu akibat keguguran. Saat penanganan, dirinya mengaku disuntik bius oleh pihak rumah sakit.
"Biasanya kan 1 kali (suntik), tapi saya disuntik sampai 4 kali. Waktu itu alasannya suntikan pertama tidak ngaruh, jadi harus disuntik lagi katanya," kata Tina kepada wartawan di kantor BPSK Kota Bandung.
Operasi kuret yang dijalaninya berjalan dengan lancar. Namun saat sadar, Tina mengeluh sakit pada bagian tangan sebelah kanan, khususnya pada bagian pergelangan tangan bekas suntikan keempat saat jelang operasi kuret tersebut.
Karena sakitnya tidak hilang, dia kemudian diberi cairan pendingin bernama boorwater untuk meredakan nyeri di pergelangan tangannya. Hal itu pun tidak berdampak signifikan, bahkan diakuinya bertambah parah.
"Belakangan saya baru tahu, kalau ternyata cairan kompres itu sudah tidak dijual lagi di apotik sejak tahun 1999, karena memang pada bagian luar membuat dingin, tapi bisa merusak bagian jaringan di dalamnya," katanya.
Seiring berjalannya waktu, kondisi tangan kanannya semakin parah. Hingga pada 7 Februari 2017 jari telunjuk dan ibu jari tangan sebelah kanan harus terpaksa diamputasi di RS Imanuel karena jaringannya sudah mati dan membusuk.
Dibantu Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI), Tina menuntut ganti rugi atas akibat yang ditanggungnya. Selama ini harus mengeluarkan biaya untuk berobat meskipun berakhir dengan amputasi.
"Dua tahun saya lakukan berobat saya minta ganti rugi saya kerja juga jadi terhalang minder. Kalau scara materi logisnya ini puluhan jutaan. Apalagi setiap tahun jari palsu ini setiap tahun harus ganti. Kerja jadi terhambat juga," ucapnya.
Ketua HLKI Firman Turmantara mengatakan akan mendampingi kliennya untuk memperoleh haknya. Firman menyebutkan, sejauh ini pihaknya sudah mencoba membantu Tina menyelesaikan masalah tersebut.
Pada 31 Maret lalu, pihaknya sudah berusaha melakukan mediasi yang dihadiri oleh pihak RSBM dan korban. Namun tidak menemui titik temu. Dia menambahkan, dari barang bukti dan keterangan korban masalah ini bisa dipidanakan. Namun pihaknya tetap ingin menyelesaikan dengan baik-baik.
"Akhirnya kita lakukan gugatan ke BPSK sekarang. Kalau di BPSK juga tidak ada kejelasan baru kita akan lakukan langkah hukum lainnya," pungkasnya.