'22 Oktober jadi Hari Santri punya nilai dramatis & heroik'
22 Oktober merupakan hari Resolusi Jihad yang dikeluarkan Hadratusyeikh Hasyim Asy'ari.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Meski bukan tanggal 1 Muharram, Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Nusron Wahid mengapresiasi menyambut positif keputusan Presiden Jokowi tersebut.
"Ini bukti keberpihakan Presiden Jokowi terhadap masyarakat santri. Dengan ditetapkannya hari santri, berarti eksistensi santri diakui di Indonesia," kata Nusron, Rabu (14/10).
Dia menilai, ditetapkannya 22 Oktober sebagai hari santri mengandung nilai dramatis dan heroik. Sebab, 22 Oktober merupakan hari Resolusi Jihad yang dikeluarkan Hadratusyeikh Hasyim Asy'ari, Roisul Akbar NU pada saat melawan penjajah.
"Sekarang kiai wajib fatwa mengusir kemiskinan, krisis ekonomi, dan korupsi dari Bumi Nusantara," katanya.
Nusron mengatakan, meski Hari Santri telah ditetapkan bukan berarti perjuangan sudah selesai. Menurut Nusron, hak-hak pendidikan santri harus dipenuhi, seperti BOS untuk pesantren salafiyah dan Kartu Indonesia Pintar untuk para santri.
"Dan yang lebih penting lagi pengakuan persamaan (muadalah) pondok pesantren salafiyyah dan sistem pendidikan nasional," ujar Nusron.
Menurutnya, ijazah pesantren salafiyah dengan kurikulum kitab kuning dan klasik yang derajat keilmuwannya sangat tinggi tidak diakui hingga saat ini. Berbeda dengan kurikulum madrasah modern dan IAIN yang dinilainya dangkal dan parsial justru diakui dalam sistem pendidikan nasional.
"Mereka ijazahnya diakui dan dapat BOS dan KIP. Sementara santri salafiyyah tidak. Ini tidak adil. Padahal kurikulum madrasah formal dan IAIN itu hanya mengambil ikhtisar dan kulit dari kitab-kuning klasik. Makanya dangkal. Lulusan Madrasah juga tanggung kedalaman ilmu agamanya," ungkapnya.