95 Orang meninggal kekurangan gizi di Papua, Yahukimo jilid II?
Hingga Februari 2013, sebanyak 535 orang terjangkit penyakit dan 95 orang meninggal dunia.
Masyarakat adat di Distrik Kwoor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat sejak November 2012 lalu terserang wabah penyakit yang menyebabkan kematian massal. Hingga Februari 2013, sebanyak 535 orang terjangkit penyakit dan 95 orang meninggal dunia.
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), ormas yang beranggotakan komunitas-komunitas masyarakat adat dari berbagai pelosok nusantara, menjelaskan jenis penyakit yang diderita kebanyakan warga adalah busung lapar atau kekurangan gizi dan gatal-gatal. Wabah ini telah menyebar di beberapa kampung yaitu Kampung Jocjoker, Kosefo, Baddei, Sukuweis dan Krisnos.
"Sejak awal masyarakat sudah lapor ke Dinas Kesehatan, tapi tidak ada tindak lanjut. Ketika korban mulai berjatuhan, baru Dinas Kesehatan merespons," kata Kostan, pegiat AMAN Sorong Raya, saat dihubungi merdeka.com di Papua Barat, Selasa (2/4).
Kostan berani mempertanggungjawabkan laporan soal kematian massal itu. Perinciannya, di Kampung Baddei terdapat 250 orang sakit dan 45 orang meninggal dunia; Kampung Jokjoker 210 sakit dan 15 orang meninggal dunia; Kampung Kosefa 75 sakit dan 35 orang meninggal dunia.
Kostan mengatakan, Distrik Kwoor masih kekurangan tenaga medis, sehingga setiap warga yang datang seringkali tidak mendapatkan pelayanan karena mantri atau dokter tidak ada di tempat.
"Seringkali warga harus berjalan kaki ke kampung lainnya untuk mencari pengobatan," ujarnya.
Menanggapi kasus ini, Menko Kesra Agung Laksono berjanji akan segera mengecek kebenaran informasi tersebut.
"Saya harus cek dulu apa benar begitu banyak korban karena kelaparan, atau karena hal lain," kata Agung di Istana Presiden, Jakarta, Selasa (2/4) kemarin.
Meski demikian, lanjut Agung, pihaknya segera melakukan langkah-langkah darurat. Lebih jauh dia menjelaskan, kondisi cuaca yang tidak menentu di Papua menjadi berbagai cikal bakal penyakit muncul hingga terkadang sampai menimbulkan korban.
"Pemda setempat sudah melakukan langkah-langkah darurat di sana. Jadi tergantung keadaan cuaca yang sering muncul, cuaca ekstrem yang sering muncul di Papua seperti di pegunungan, ini juga pernah terjadi di 2006. Jadi bukan kronis tapi memang keadaan cuaca," jelasnya.
Kasus kematian massal ini mengingatkan pada kasus serupa pada tahun 2005 silam di Kabupaten Yahukimo, Papua. Pada saat itu, 55 orang dikabarkan tewas akibat busung lapar.
Kabupaten Yahukimo dimekarkan dari Kabupaten Jayawijaya bersama 13 kabupaten lainnya di Papua yang diresmikan semasa Mendagri Hari Sabarno, 12 April 2003 di Jayapura, namun kabupaten itu definitif 28 Juni lalu.
Untuk mencapai daerah itu hanya dengan pesawat terbang jenis Cessna atau helikopter karena kondisi geografisnya berat, terjal dan terletak di atas ketinggian 2.500-3.000 meter dari permukaan laut.
DPRD Kabupaten Yahukimo, Papua waktu itu mengatakan meninggalnya 55 warga di daerah itu bukan hanya karena busung lapar, tetapi juga karena ada korban yang sudah lanjut usia, bahkan menderita penyakit lain sehingga tidak dapat tertolong.
Menurut Wakil Ketua DPRD Kabupaten Yahukimo, Didimus, pemberitaan sejumlah media masa lokal maupun nasional tentang meninggalnya 55 warga masyarakat disebabkan karena mengalami kelaparan itu sangat tidak benar sesuai dengan kondisi daerah itu.
Menurutnya, masyarakat Yahukimo menurutnya tidak mengalami kelaparan yang separah diberitakan oleh media massa, karena yang dialami masyarakat yakni sejumlah penyakit yang diderita, bahkan banyak yang sudah usia lanjut (lansia).
Namun, lanjut dia, kasus meninggalnya 55 warga masyarakat Yahukimo ada benarnya, namun bukan disebabkan karena busung lapar. Tetapi berbagai macam penyakit yang diderita, serta kurang mendapat pelayanan kesehatan dari pemerintah setempat.