Akademisi: Kelangkaan daging sapi hanya terjadi di sentra konsumsi
Pembatasan sapi impor ke Indonesia pada periode sebelumnya berdampak pada kelangkaan daging sapi di sentra konsumsi.
Kelangkaan daging sapai yang diberitakan media massa nasional dalam beberapa waktu terakhir dinilai hanya terjadi di wilayah sentra konsumsi daging sapi. Padahal, ketersediaan sapi di beberapa sentra secara umum masih bisa memenuhi kebutuhan di daerah.
Akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Ahmad Sodiq mengemukakan kelangkaan daging sapi sebenarnya tidak terjadi di seluruh daerah yang ada di Indonesia. Dia menyebut, isu kelangkaan daging sapi terjadi karena di sentra konsumsi utama yang ada di Indonesia.
"Sentra konsumsi daging sapi di Indonesia yang terbesar ada di Jakarta dan Bandung. Jadi tidak heran di wilayah tersebut terjadi kelangkaan daging sapi, tetapi kalau di beberapa wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Bali cenderung tidak terjadi karena termasuk sentra penghasil," ujarnya saat dihubungi, Selasa (11/8).
Menurut Dekan sekaligus Guru Besar Fakultas Peternakan Unsoed ini, di dua sentra konsumsi tersebut sumber sapi berasal dari sapi impor. Ia menilai, pembatasan sapi impor yang masuk ke Indonesia pada periode sebelumnya berdampak pada kelangkaan di Jakarta dan Bandung.
"Yang terjadi sebenarnya kebutuhan banyak, tetapi di pasar sedikit sehingga terjadi kelangkaan. Tetapi untuk wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak terjadi karena pasokan dari daerah sentra itu masih banyak dan berasal dari peternakan rakyat," ucapnya.
Diakuinya, pemenuhan kebutuhan daging sapi di daerah selama ini dikatakan siap. Tetapi, katanya, ketika diangkat untuk memenuhi permintaan nasional pada momen tertentu yang kebutuhannya tinggi, masih belum siap seperti saat mendekati momen Idul Adha. "Ada analisis yang menyatakan ketersediaan daging sapi sebenarnya ada, tetapi persoalannya berada dalam sistem yang belum terkoordinir dan informasinya belum terkelola dengan baik karena yang memegang adalah petani kecil," ucapnya.
Ia mencontohkan untuk mengirim sapi dari Nusa Tenggara Barat ke Jakarta membutuhkan waktu yang lama. Sehingga, ia mengemukakan ada persoalan dalam tata niaga terkait transportasi dan beberapa hal di dalamnya. Lebih lanjut, ia menjelaskan untuk kebutuhan Banyumas ketersediaannya cukup baik.
"Untuk banyumas, secara pribadi yang beberapa didukung menjadi binaan sangat meyakinkan kondisinya. Artinya, di beberapa kelompok-kelompok yang dibiayai dengan perbankan dan investor cukup dalam ketersediaannya. Karena, di dalam kandangnya jumlah (sapi) relatif besar ada yang 40 ekor sampai 400 ekor. Bahkan, ada satu contoh di Desa Datar (Banyumas) jumlahnya mendekati 160 ekor, kemudian di Gandrungmangu (Jawa Timur) mendekati 1.500 ekor, karena ada yang satu kandang mendekati 400 ekor," tuturnya.
Selain itu, dia mengemukakan konsumsi sapi Banyumas tergolong rendah karena jumlahnya hanya 30-40 ekor sapi per hari. Biasanya, lanjut Sodiq, kebutuhan tersebut untuk Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap. "Tetapi, kalau stok di daerah aman. Yang menjadi persoalan adalah wilayah Jawa Tengah ke arah barat. Karena kebutuhan (daging sapi) cukup tinggi dan kecenderungannya dipengaruhi keberadaan sapi impor," ucapnya.
Mengenai keputusan pemerintah yang menyerahkan kebijakan impor daging sapi kepada Bulog, Sodiq mengatakan Bulog diharapkan bisa menstabilisasi harga daging sapi yang saat ini juga tergolong tinggi. "Model seperti yang terjadi di beras sekarang baru dicoba tahun ini. Tetapi, persoalannya butuh investasi besar karena butuh banyak yang harus didistribusikan ke pasar dengan harga murah, tetapi sampai kapan?" tuturnya.
Ia mengemukakan, idealnya saat ini harga daging sapi sesuai dengan mekanisme pasar karena Bulog hanya berperan dalam kondisi darurat. "Kalau untuk waktu yang panjang tidak bisa, karena itu dibutuhkan kemandirian," jelasnya.
Dari data yang dimilikinya, selama ini daging sapi yang ada di Indonesia sebanyak 98 persen berasal dari peternak lokal sedangkan dua persen merupakan impor. Ia berharap pemerintah bisa mengoptimalkan penghasil sapi yang ada di wilayah pedesaan. Selama ini, menurut Sodiq, sudah banyak bantuan program dari pemerintah yang membantu peternak sapi di pedesaan.
"Tetapi yang jadi persoalan ada pada titik akselerasi dalam bisnisnya, persoalan harga. Karena selama ini budidayanya bagus, tetapi aspek pasar jika tidak menguntungkan peternak akan mengurangi motivasi petani," ucapnya.