Apakah Soeharto masih dirindukan?
Setiap masa ada pemimpinnya, setiap pemimpin ada masanya. Begitulah pepatah bilang. Sama halnya dengan Soeharto.
Setiap masa ada pemimpinnya, setiap pemimpin ada masanya. Begitulah pepatah bilang. Sama halnya mantan Presiden RI kedua Soeharto. Selama 30 tahun Bapak Pembangunan itu berkuasa di negeri ini, tumbang di pertengahan tahun 2008. Gelombang demonstrasi sengit warnai kejatuhan Soeharto atau 'Husni Mubarok'nya Indonesia itu.
Kini, setelah lima belas tahun pasca reformasi disebut-sebut keadaan jauh lebih buruk dan tidak memenuhi harapan publik, namun ada pula yang menyebutnya lebih baik. Berikut merdeka.com sajikan beberapa pendapat masyarakat mengenai harapan publik pasca orba runtuh.
Mustari, seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri ini mengatakan kondisinya lebih buruk, bahkan tidak ada lagi harapan kecuali menegakkan nilai-nilai keislaman. Menurut dia, sosok Soeharto bukan yang dibutuhkan Indonesia saat ini.
"Yang penting, pemimpin itu adalah kualitas tauhidnya. Jika tauhidnya ok, insya Allah akan terpancar dalam kelakuannya dan bisa diharapkan menjadi pemimpin," ujar Mustari kepada merdeka.com
Senada dengan Mustari, Saeful Millah, guru berusia 27 tahun ini menilai setelah reformasi keadaan justru stagnan bahkan cenderung merosot. Menurut dia hal itu bisa terlihat di beberapa bidang. Saeful memberikan contoh dalam hal pendidikan dan kesehatan misalnya, pelaksanaan dan pengelolaan bidang kurikulum, kurikulum 2013 sudah di sosialisasikan tapi pihak DPR belum mengetahui. Kendati demikian ia tak menampik di beberapa sektor mengalami kemajuan yang cukup baik.
"Harapan, tempatkan lah orang yang kompeten dalam bidangnya dan selektif dalam pemilihan umum aja, bukan uang dan popularitas yang diutamakan. Tapi, pengabdian dan pelayanan, mempunyai visi-misi membangun memperbaiki negara," lanjut Saeful.
Dia menambahkan bukan sosok Soeharto yang dia inginkan tapi internalisasi profetik Nabi Muhammad dalam memimpin negara. "Amanah dan tanggung jawab," pungkas dia.
Lain halnya dengan Iqbal Hafidz Hakim, dia berpendapat kondisi Indonesia justru makin lebih baik pasca reformasi digaungkan.
"Keterbukaan memang mensyaratkan kegaduhan dalam ranah apapun. Tapi itu lebih baik dari ketertutupan yang menampakkan ketenangan yang sesunguhnya di dalamnya ada kobaran api ketidakberesan," katanya.
Pendidik di sebuah lembaga pendidikan ini menambahkan ada gunung es kebobrokan yang siap meleleh. Kegaduhan, merupakan etape bagi masyarakat
Indonesia untuk mendewasakan dirinya dalam berbangsa dan bernegara. Meskipun harus dengan beberapa catatan yang bisa menjaga momentum menuju kesadaran berbangsa yang elegan.
Dia berharap ada perubahan signifikan dalam tata cara bernegara baik itu pilitik, ekonomi dan lainnya. Namun, Iqbal menggarisbawahi hal itu tidak bisa dicapai, jika pemahaman yang utuh tentang berbangsa belum dimiliki oleh mereka yang memangku kekuasaan.
Menurut Iqbal sosok Soeharto dengan gaya kepemimpinan yang khas era orde baru itu sudah tidak dibutuhkan oleh Indonesia dengan berbagai alasan. Pertama, dari fisiknya ia sudah meninggal jadi tidak bisa dibangkitkan lagi. Kedua sebagai isme, dia sudah tidak bisa lagi mewadahi bagi rakyat yang secara sosiologis tidak bisa lagi ditakut-takuti. Hartoisme berlaku pada tataran masyarakat yang selalu menyerahkan segala sesuatunya tergantung negara.
Ketiga, tidak lagi kita terjebak pada romantisme. Kita harus mencari tipologi pemimpin yang visioner, yang mampu membawa Indonesia jaya di masa yang akan datang dan mampu berdikari, berdaulat sepenuhnya.
"Bukti bahwa kita sungguh-sungguh Garuda. tentu saja kita tidak menemukan ini pada sosok Soeharto," pungkasnya.
Endang Sukaesih, pedagang asongan ini malah sedih kalau mengenang peristiwa Mei '98 banyak terjadi pembunuhan dan menurutnya tragedi yang paling memalukan ialah pelengseran secara paksa orang terhormat Presiden Soeharto.
Bagi Endang, presiden wajar memiliki banyak rumah. Kalaupun dia dianggap korupsi seharusnya sudah lama lengser, dan itu urusan hukum (Kejaksaan,red), yang terpenting urusan rakyat terjamin.
"Kalau perlu 32 provinsi rumahnya nggak papa, dia kan pemimpin wajar punya rumah banyak. Masak tidur di jalanan,"
Di masa Soeharto lah ia bisa merasakan kemerdekaan, beras murah hanya Rp 400. Kalau sekarang pemimpinnya malah rebutan jabatan dan saling membanggakan diri dengan seabrek gelar dan penghargaannya, yang sejatinya hal itu bisa dibeli, sehingga menyusahkan rakyat kecil. Selain itu, zaman orba dari segi kemanan juga terjaga.
"Sekarang BBM mahal, di handphone banyak BF (blue film) nya semua, di zaman Soeharto nggak ada, kalau nggak langsung ditangkap," katanya lagi.
Dia berharap supaya pemerintah dapat memberikan pekerjaan, pemimpin yang berhasil menurutnya tak sungkan untuk bernegoisasi dengan kaum papa. Kemudian diberikan kemudahan dalam mengakses pekerjaan serta modal.
"Harapannya diberi pekerjaan dan tempat tinggal, nanganin pengamen kok ke Kedoya cuman diajarin njahit trus disuruh pulang nggak dikasih duit ya ngemis lagi. Coba pinteran mana pemerintah sama pengemis," katanya sambil tersenyum.
Sedangkan menurut Efendi Alui seorang wiraswasta, kondisi di zaman Soeharto juga ada sisi baik dan buruknya. Sisi baiknya semua aman terkendali, sisi buruknya meskipun demokrasi di zaman Soeharto sebenarnya sudah dijalankan, buktinya pemilu sempat digelar selama beberapa kali, kendati dalam pemilu itu dimenangkan sang jendral kelahiran Yogyakarta itu. Akan tetapi, demokrasi yang dijalankan pada era Orba tidak disosialisasikan dengan baik.
"Kalau ada yang melanggar ya langsung kena petrus," kata dia sambil berkelakar.
Untuk era sekarang demokrasi memang sudah berjalan, akan tetapi terkadang justru kebablasan. Norma-norma kesopanan dilanggar dengan enaknya, bahkan sampai menghina pejabat.
Dia berharap Indonesia memiliki Bapak Bangsa yang benar-benar merakyat seperti Soeharto. Memperhatikan rakyatnya.
"Sebut saja Mega, merakyat tapi buktinya di atas, kalau memperhatikan rakyat itu sekolah gratis semua,"pungkas dia.
Iwan Maulana, berpendapat perubahan yang terjadi pasca reformasi tergantung cara pandang seseorang bagaimana menyikapinya. "Secara keamanan enak Pak Harto secara demokrasi enak sekarang. Sosok pak Harto akan selalu dirindukan," katanya.