Bagaimana agar panti asuhan tak menjadi tempat penyiksaan anak
Dia meminta pemerintah-pemerintah daerah agar mengawasi keberadaan panti di masing-masing daerah itu.
Kemarin mencuat berita penyiksaan anak-anak di Panti Asuhan Samuel di Tangerang, Provinsi Banten. Kisah itu benar-benar tragis, di mana sebanyak 30 anak yang tinggal di panti di antaranya pernah mengalami pelecehan seksual dan penganiayaan.
Bahkan seorang anak berusia 8 tahun berinisial J pernah dikurung selama sehari di kandang anjing besar. Penyebabnya karena J melarikan diri dari panti. Tak kuat dengan kekerasan itu, J akhirnya kembali melarikan diri dan bersembunyi di gereja sekitar.
Beruntung kasus itu segera diketahui oleh donatur, yang segera menindaklanjutinya. Kasus kekerasan di panti asuhan itu menambah panjang deretan kasus kekerasan terhadap anak. Lalu bagaimana agar kekerasan di panti itu tidak terjadi?
Menurut Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, standar pelayanan dan pengawasan panti asuhan di Panti Asuhan Samuel harus dicek ulang oleh pemerintah daerah setempat. "Karena pengawasan yang ada sekarang lemah, di rumah boarding schools juga terjadi seperti itu," ujarnya, Selasa (25/2).
Di sisi lain, selama ini juga banyak panti tidak mengantongi izin dan memiliki standar sesuai undang-undang yang jelas. "Dalam kasus seperti ini yang saya tanyakan pengawasannya. Pemerintah kan memberi izin, Depsos, membuat surat-surat pendirian panti. Itu dikeluarkan pemerintah, sesuai undang-undang kepemilikan panti."
"Bisa juga standar-standarnya tidak terpenuhi, misalnya tidak memiliki tempat bermain, tidak memiliki tempat perawatan kesehatan baik, pelayanan pendidikan tidak baik, ditambah panti ilegal. Itu jelas melakukan kesalahan," terang Arist.
Oleh sebab itu menurut dia, agar kejadian kekerasan terhadap anak panti tidak terjadi lagi, dia meminta pemerintah-pemerintah daerah agar mengawasi keberadaan panti di masing-masing daerah itu. "Baik standar pelayanannya, itu menurut saya harus diawasi."