Budayawan Malang ini mengaku pernah diminta berceramah oleh Gafatar
Ia juga kenal dengan Ahmad Musadek, yang disebut sebagai Mesias.
Budayawan asal Malang, Djathi Kusumo beberapa kali terlibat dalam kegiatan Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar yang tengah ramai dibicarakan publik. Namun keterlibatannya hanya sebatas sebagai narasumber untuk memberikan orasi kebudayaan.
Keterlibatannya diawali saat kegiatan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) sekitar dua tahun lalu. Disusul beberapa kegiatan di Surabaya, Gresik dan Malang. Setiap acara, dirinya selalu diminta memberikan ceramah.
Djathi mengaku dihubungi sahabatnya, Hatami Kusumo yang diketahuinya sebagai penggagas Gafatar.
"Hatami Kusumo teman saya di Kejawen, dia orang Jawa Tanggah. Dia pengurus dan pencetusnya. Saya hanya diundang ceramah," kata Djathi Kusumo saat ditemui di padepokannya di Desa Biru, Gunungrejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Selasa (12/1).
Sejak saat itu, Djathi diundang menjadi pembicara di beberapa tempat, termasuk kemudian menggelar bakti sosial di padepokannya. Karena saat kegiatan di Surabaya, Djathi bercerita kalau memiliki padepokan yang biasa digunakan menggembleng budi pekerti.
"Saat itu saya ceritakan kalau saya memiliki padepokan di Singosari, Kabupaten Malang. Tidak lama kemudian mereka menawarkan kegiatan sosial bersih-bersih sumber air," katanya.
Djati sendiri menolak disebut sebagai bagian dari Gafatar karena tidak secara aktif mengikuti kegiatan. Ia hanya mendukung semua kegiatan, sepanjang tidak melakukan pengkhianatan terhadap Pancasila dan bangsa Indonesia.
"Kalau bagian itu kan proaktif. Saya statis saja, saya diminta memberikan pengarahan ya datang. Di Gresik, Surabaya, dan bakti sosial di sini," katanya.
Djati mengaku sebatas tahu dengan nama-nama Ahmad Musadek, yang disebut sebagai Mesias. Semua yang hadirpun saat itu memanggilnya dengan sebutan 'Yang Mulya'.
Ketika, Djati menyampaikan usulan saat pertemuan di Surabaya, juga ikut menggunakan kata 'Yang Mulya' dengan alasan ikut menghormati.
Sepengetahuan Djathi, tidak ada yang aneh dengan aktivitas mereka saat itu, bahkan menimbulkan kebanggaannya. Karena rasa nasionalisme dan kepedulian kepada lingkungan yang ditunjukkan saat itu.
Saat datang ke Padepokan, para tamunya juga tidak merepotkan. Mereka membawa semua perbekalan sendiri-sendiri, sehingga sebagai tuan rumah, Djathi sama sekali tidak terbebani. Massa yang terlibat kerja bakti saat itu berjumlah puluhan hingga ratusan.
"Saya lupa jumlahnya antara puluhan sampai ratusan. Banyak, dari berbagai daerah, termasuk Malang dan sekitarnya," katanya.
Dari Malang jumlah orangnya banyak, tetapi keaktifan tidak ada. Biasanya hanya kumpul-kumpul untuk mencari sembako kegiatan.
Djathi yang mengaku sebagai pengagum Presiden Suekarno tidak keberatan dengan kedatangan para tamunya itu. Karena selama ini padepokannya dipakai banyak ormas. Tidak hanya Gafatar, banyak ormas lain yang datang ke padepokannya.
"Saya menerima siapa saja yang datang ke padepokan saya. Tidak hanya Gafatar, tetapi ormas lainnya juga banyak yang ke sini. Padepokan ini terbuka bagi siapa saja," katanya.
Djathi Kusumo di Malang dan sekitarnya dikenal sebagai tokoh kebudayaan. Nilai-nilai luhur menyangkut kebudayaan Jawa dan budi pekerti menjadi tema-tema yang kerap dibicarakan.
Djathi sendiri pernah bekerja di Departemen Penerangan di era Pemerintahan Orde Baru. Ia juga pernah menjadi anggota DPR RI pada 1995.
"Namun sejak saat itu, saya sudah tidak pernah diundang lagi," katanya.