Dewie Yasin Limpo minta fee 7 persen buat muluskan proyek PLTMH
Hal itu terungkap dalam sidang terdakwa Irenius Adii dan pemilik PT Bumi Abdi Cendrawasih, Setiadi Jusuf.
Terdakwa Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Deiyai, Papua, Irenius Adii dan pemilik PT Bumi Abdi Cendrawasih, Setiadi Jusuf akan menjalani sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan kesaksian dan beberapa saksi dari pihak Jaksa Penuntut Umum KPK. Mereka berdua akan disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) hari ini dalam kasus dugaan suap usulan penganggaran proyek pembangunan infrastruktur energi baru dan terbarukan (PLTMH) tahun anggaran 2016 Kabupaten Deiyai, Papua.
Saksi yang dihadirkan yakni mantan sekretaris pribadi Dewie Yasin Limpo, Rinelda Bandaso. Dalam kesaksiannya, Rinelda mengakui bahwa Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Deiyai, Papua, Irenius Adii meminta dirinya untuk memberikan proposal kepada atasannya yaitu Dewi Yasin Limpo selaku anggota Komisi VII DPR.
"Saya awalnya kenal Pak Iranius diperkenalkan adik saya Ruth dari Papua untuk diberikan proposal listrik Kabupaten Deiyai. Dia berikan proposal ke saya dan berikan ke Ibu Dewie Yasin Limpo. Saya staf administrasi bu Dewie," ucapnya saat bersaksi dalam Ruang Sidang Tipikor, Kemayoran, Jakarta, Kamis (21/1).
Rinelda mengaku ingin membantu Iranius karena di Deiyai tidak ada listrik dan harga mesin dengan trafo namun tidak ada tiang untuk pemasangan jaringan.
"Saya bilang ada program gratis listrik tiang dan kabel tapi masukan saya proposal ya untuk diajukan ke bu Dewie. Inisiatif bukan dari saya tapi dari Pemda," beber Rinelda.
Setelah memberikan proposal ke Dewi Yasin Limpo, proposal tersebut diterima dan Dewi akan mengupayakan proyek tersebut.
"Ketika di Plaza Senayan 28 September 2015 terjadilah pertemuan antara saya, Ibu Dewie Yasin Limpo, Pak Bambang Staf Ahli Dewie Yasin Limpo, dan Pak Irenius. Kita membicarakan soal proyek tersebut. Kan total proyek Rp 50 miliar Bu Dewie awalnya minta dana pengawalan atau fee dari total proyek 10 persen namun Pak Iranius tidak punya uang," jelas Rinelda.
Ketika itu Dewie Yasin Limpo memerintahkan Iranius untuk menyiapkan uang Rp 2 miliar jika ingin proyek pembangunan infrastruktur energi baru dan terbarukan tahun anggaran 2016 Kab Deiyai, Papua itu berhasil.
"Waktu itu pak Iranius tidak punya uang jadi dia menjadi sponsor untuk proyeknya berjalan dan ditunjuklah pak Setiadi dari PT Bumi Abdi Cendrawasih," ungkap Rinelda.
Kemudian setelah perjanjian itu pada tanggal 18 Oktober 2015, Iranius, Bambang, Dewie Yasin Limpo dan Setiadi bertemu di Restoran Bebek Tepi Sawah Mal Pondok Indah terjadilah kesepakatan untuk memberikan fee 7 persen kepasa Dewie Yasin Limpo.
"Kemudin Setiadi menyepakati untuk memberikan fee 7 persen memberikan uang SGD 177,700 Atau Rp 2 miliar dan dengan syarat jika proyek tersebut gagal dipegal oleh Setiadi maka uang tersebut dikembalikan," tandasnya.
Irenius Adii didakwa memberi suap kepada anggota Komisi VII DPR Dewie Yasin Limpo sebesar SGD 177,700. Irenius didakwa melakukan suap bersama pemilik PT Bumi Abdi Cendrawasih Setiadi Jusuf dalam proyek pembangkit listrik tenaga mikro hidro di Kabupaten Deiyai. Proyek ini diketahui tercantum dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2016.
"Terdakwa I, Irenius Adii dan terdakwa II, Setiadi Jusuf telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, memberi atau menjanjikan sesuatu berupa uang sebesar SGD 177,700 kepada Dewie Aryaliniza alias Dewie Yasin Limpo selaku anggota komisi VII DPR RI Periode 2014-2019 dengan maksud supaya penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK Fitroh Rohcahyanto saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (11/1).
Sejumlah uang tersebut diduga diberikan Irenius kepada Dewie untuk mendapatkan anggaran dari pemerintah pusat guna pembangunan pembangkit listrik, karena ada keterbatasan anggaran pada APBD Kabupaten Deiyai.
Awalnya, Irenius membuat usulan proposal yang ditujukan kepada menteri ESDM dan ditembuskan ke Dirjen Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM (EBTKE) serta Komisi VII DPR.
Untuk mempermudah pengurusan proposal, Irenius meminta Rinelda Bandaso untuk mempertemukannya dengan Dewie. Rinelda, yang merupakan sekretaris Dewie setuju mempertemukan keduanya.
"Pada pertengahan bulan Juli 2015, atas permintaan Dewi Aryaliniza alias Dewie Yasin Limpo, Rinelda Bandaso menanyakan dana pengawalan untuk pengurusan anggaran pembangkit listrik Kabupaten Deiyai kepada terdakwa I, namun terdakwa I menyampaikan bahwa dana pengawalan belum siap," lanjut dia.
Kepada Irenius, Dewie meminta anggaran pengawalan sebesar 10 persen dari dana yang akan dicairkan. Berdasarkan pembicaraan dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, proyek ini dapat terlaksana melalui mekanisme penganggaran Dana Aspirasi sebesar Rp50 miliar, sehingga dana pengawalan yang harus disiapkan Irenius sebesar Rp2 miliar.
Mengetahui informasi tersebut, Irenius menyampaikan kepada Setiadi yang merupakan pelaksana proyek melalui perusahaan miliknya PT Abdi Bumi Cendrawasih untuk menyiapkan sejumlah dana tersebut.
"Pada tanggal 18 Oktober 2015 bertempat di Restoran Bebek, Mal Pondok Indah, Terdakwa I (Irenius) mempertemukan terdakwa II (Setiadi) dengan Dewie Yasin Limpo. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa terdakwa II bersedia memberikan dana pengawalan sebesar 7 persen dari anggaran yang diusulkan," jelas Fitroh.
Uang pengawalan sebesar SGD 177,700 itu, kemudian diberikan pada 20 Oktober 2015 bertempat di Resto Baji Pamai, Mal Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang dihadiri Irenius, Setiadi dan Rinelda. Dalam kesempatan itu, Setiadi juga memberikan SGD1.000 kepada Irenius dan Rinelda.
"Beberapa saat setelah penyerahan uang tersebut, terdakwa I dan terdakwa II serta Rinelda Bandaso ditangkap oleh petugas dari KPK," kata Fitroh.
Pemberian uang dari Irenius kepada Dewie melalui Rinelda tersebut diduga bertentangan dengan kewajiban Dewie selaku penyelenggara negara.
Atas perbuatannya, Iranius dan Setiadi dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Pasal 20 Tahun 2001 KUHP. Sementara Dewie, Bambang, dan Rinelda sebagai penerima dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Pasal 20 Tahun 2001 KUHP.