Di Makassar, laut mati gara-gara reklamasi mega proyek CPI
Nelayan setempat juga terusir dari tempat tinggal mereka.
Dead Zone atau wilayah laut mati terjadi akibat reklamasi di lahan mega proyek Centre Point of Indonesia (CPI), di Makassar, Sulawesi Selatan. Pemandangan itu terlihat di bawah jembatan bagian dari proyek CPI, di Jalan Metro Tanjung Bunga, bersebelahan dengan kawasan Pantai Losari.
"Lihat saja laut itu. Dampak dari reklamasi membuat akses dengan laut lepas tertutup. Airnya hitam dan busuk, banyak sampah. Tidak ada lagi kehidupan untuk biota laut seperti ikan, kerang, kepiting, yang biasanya diakses oleh nelayan sebagai sumber ekonominya," kata Haswandi, salah seorang tim kuasa hukum Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel dari LBH Makassar, usai sidang Peninjauan Setempat (PS), atau sidang di atas lokasi sengketa Tata Usaha Negara (TUN), Jumat (22/4).
Sidang di lokasi reklamasi proyek CPI ini yang ketujuh kalinya, sejak Walhi Sulsel mendaftarkan gugatan terhadap Pemprov Sulsel pada Januari 2016 lalu, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar.
Materi gugatan berupa surat keputusan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi diterbitkan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, dinilai tanpa dasar karena tidak diawali izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Materi gugatan lainnya adalah reklamasi dinilai telah merusak ekosistem laut, dan merampas hak rakyat yang mengambil manfaat dari laut menjadi kawasan proyek.
"Salah satu titik yang menjadi area proyek CPI itu adalah tanah tumbuh, yang didiami 43 Kepala Keluarga (KK) warga nelayan. Dulu di situ ada hutan bakau atau tanaman mangrove yang ditanam warga. Air lautnya jernih dan tidak dangkal, kapal-kapal besar melintas. Itu semua sudah tidak ada. Dibangun perkantoran, lalu jembatan sehingga laut sekitarnya jadi mati," ujar Haswandi.
Menurut Haswandi, sebelum SK Gubernur Sulsel diterbitkan, sudah terjadi tahapan-tahapan reklamasi. Sementara itu, Daeng Bollo (49), seorang nelayan korban reklamasi hadir mengikuti sidang lokasi mengatakan, dia dan keluarganya sudah mendiami tanah itu sejak 1967. Saat ini, di atas tanah itu sudah dibangun perkantoran, setelah dia dan keluarganya serta warga nelayan lain diusir dan rumahnya dibakar.
"Banyaknya kepiting, kerang di mangrove itu, juga banyak ikan karena laut belum dangkal. Lalu saya jual. Tapi sekarang sejak digusur, keluarga jadi terpencar," kata Daeng Bollo.
Menurut data Walhi Sulsel, luasan timbunan dan tanah tumbuh di laut menjadi kawasan reklamasi pantai pesisir barat seluas 157,23 hektare. Dimulai dari anjungan Pantai Losari hingga pesisir Barombong. Pergerakan pembangunan di atasnya mulai berlangsung sejak 2009 lalu.