Direktur LBH APIK nilai Sitok dijerat pasal 'keranjang sampah'
Oleh sebab itu LBH APIK minta DPR segera mengesahkan Undang-undang Anti Pemerkosaan.
Maraknya kasus kekerasan seksual belakangan ini memang membetot perhatian publik. Apalagi kasus kekerasan seksual yang kerap menimpa perempuan ini akhir-akhir ini banyak terjadi di jalanan, kampus, rumah, sampai sekolahan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Ratna Batara Munti, menilai kondisi itu menunjukkan masih lemahnya sistem hukum untuk melindungi dan menjamin keadilan para korban. Bahkan, proses hukum dinilainya cenderung mengabaikan.
"Aparat penegak hukum dan masyarakat cenderung menggunakan riwayat seksual korban atau status sosial korban untuk mengabaikan laporan korban. Sehingga, justru korban rentan dilaporkan balik," kata Ratna saat acara 'Perkosaan, Kekuasaan dan Patriarki di Indonesia' di Universitas Indonesia, Depok, Kamis (23/1).
Dia melanjutkan, hal itu bisa dilihat pada kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Sitok Srengenge. Korban berinisial RW (22), tidak dapat mengakses fasilitas penanganan secara khusus dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di kepolisian.
Bahkan, pelakunya hanya dijerat pasal 335 tentang Perbuatan dan Perlakuan Tidak Menyenangkan. "Pasal 335 ayat 1 itu kami sebut pasal 'keranjang sampah'," ujarnya. Padahal menurut dia, setiap kekerasan seksual merupakan kejahatan dan pelanggaran HAM. Sebab sudah jelas melanggar kemanusiaan seseorang.
"Tindakan seperti perkosaan, pelecehan seksual dan pencabulan, jelas melanggar integritas tubuh dan kemanusiaan seseorang. Kekerasan seksual dan pelecehan tidak bisa ditangani seperti halnya kejahatan biasa," ujarnya.
Atas dasar itu, LBH APIK menuntut beberapa hal terkait kekerasan seksual ini. Salah satunya, agar DPR mengesahkan RUU Anti Perkosaan atau Kekerasan Seksual.
"Kami menuntut DPR dan pemerintah segera membahas RUU Anti Perkosaan atau Kekerasan Seksual untuk pemerintahan 2014 sampai 2018. Sehingga bisa mengatur lebih luas hingga pencegahan, penanggulangan, kewajiban pemerintah, hingga pemulihan korban," terang Ratna.