Eks anggota KPI: Sebar berita hoax soal bom tak cukup dengan ralat
"Kalaupun ralat dilakukan, tidak menjamin pemirsa menonton dan mendengar ralat tersebut," kata Yuzirwan.
Kasus teror di Sarinah tanggal 14 Januari kemarin menyisakan trauma mendalam bagi masyarakat Indonesia. Terlebih saat kejadian mencekam, banyak berita simpang siur adanya ledakan susulan di beberapa titik di Jakarta yang pada akhirnya dikonfirmasi oleh pihak kepolisian sebagai kabar bohong atau hoax.
Mantan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yazirwan Uyun menyayangkan adanya sejumlah media TV dan radio yang telah menyiarkan kabar hoax walaupun kemudian telah meralat berita tersebut. Pemberitaan di media elektronik (TV dan radio) tidak sama dengan pemberitaan di media cetak.
"Begitu juga ralat di media cetak tidak sama dengan TV dan radio. Karekteristik medianya saja berbeda. Jika media cetak melakukan kesalahan, ralat dapat dilakukan dan orang dengan mudah membaca ralat tersebut pada halaman tertentu dan dapat membacanya berkali-kali. Sehingga pembaca mendapat penjelasan yang jernih," kata Yuzirwan dalam keterangannya, Jakarta, Minggu (17/1).
Contoh berita hoax yang terjadi saat ledakan bom Sarinah seperti adanya pemberitaan ledakan juga terjadi di Palmerah dan tempat lainnya. Padahal kepolisian sudah mengonfirmasi bahwa hal itu tidak ada.
Menurut Yuzirwan, tentu yang demikian sangat meresahkan dan menjadikan trauma di masyarakat. Oleh karena itu, media TV dan radio tidak cukup melakukan ralat pemberitaan.
"Setiap detik berita di TV dan radio berganti tanpa meninggalkan jejak bagi pemirsanya dan dampaknya terus bergulir. Kalaupun ralat dilakukan, tidak menjamin pemirsa menonton dan mendengar ralat tersebut. Bisa jadi setelah menonton dan mendengar berita tersebut pemirsa langsung beranjak dalam kepanikan," jelasnya.
"Maka kalau TV dan radio melakukan ralat pun harus dilakukan berkali-kali sepanjang hari tergantung dampak yang telah ditimbulkan. Mengenai frekuensi penayangan ralat ditentukan oleh redaksi media yang bersangkutan. Itupun tidak membebaskan TV dan radio atas kesalahan yang telah dilakukan," tambahnya.
Berkaca pada negara-negara lain, pengawasan terhadap media ekektronik lebih ketat daripada media cetak apalagi TV free to air. Pengawasan yang agak longgar adalah untuk TV kabel dan satelit karena sifatnya berlangganan.
"Berkaca dari hal tersebut, saya menyimpulkan televisi dan radio tidak bebas dari kesalahan setelah melakukan ralat. Sejak awal menjadi jurnalis, saya selalu didoktrin oleh para senior dan sumber pustaka yang saya rujuk bahwa pekerjaan jurnalis tidaklah mudah, pemeriksaan/kroscek menjadi sangat penting. Sekali jurnalis dan media memberitakan tidak akurat maka krebilitas jurnalis dan media akan runtuh di hadapan pemirsa. Menanggapi sanksi yang dijatuhkan KPI, itu sudah sesuai dengan aturan P3SPS," terangnya.