Harmoni Antar Umat Beragama di Kaki Gunung Lawu
Caranya dengan patroli keliling untuk menjaga rumah milik umat Hindu yang sedang ditinggal sembahyang di Pura. Bahkan, mereka juga berjaga di jalan masuk menuju dusun tersebut untuk menghalau warga luar yang akan masuk. Tujuannya supaya tidak mengganggu kekhusyukan umat Hindu menggelar sembahyang pada Hari Besar Nyepi.
Masyarakat di Dusun Jlono, Desa Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar memiliki cara untuk merawat toleransi beragama. Hal ini nampak kala umat Hindu tengah memperingati Hari Raya Nyepi di Pura Jonggol Shanti Loka.
Dalam keheningan melakukan ritual sembahyang, warga dusun yang beragama Islam dan Nasrani menjunjung semangat toleransi. Mereka dengan berpatroli menjaga keamanan dusun agar umat Hindu lancar dalam melaksanakan ritual catur brata.
-
Kapan kerangka manusia ditemukan di Bekasi? Dia menjelaskan, kerangka manusia ditemukan di lahan Kosong Grand Wisata, Kampung Bulak Jambu, Tambun Selatan Kabupaten Bekasi pada pukul 17:00 WIB pada Rabu, 4 September 2024.
-
Dimana kerangka manusia ditemukan di Bekasi? Dia menjelaskan, kerangka manusia ditemukan di lahan Kosong Grand Wisata, Kampung Bulak Jambu, Tambun Selatan Kabupaten Bekasi pada pukul 17:00 WIB pada Rabu, 4 September 2024.
-
Apa yang diperbaiki oleh Wawan Pramono di Karanganyar? Sejumlah ruas jalan di wilayahnya ia perbaiki. Di antaranya jalan Gedongan-Embarkasi dan Gawanan-Gagaksipat.
-
Di mana keluarga Kartanagara ditangkap? Pada tahun 1770, prajurit Sultan dan Kompeni berhasil menangkap 21 orang keluarga Kartanagara. Mereka merupakan kelompok terakhir yang berhasil diketahui dan ditangkap. Meski demikian, pihak kolonial meyakini ada lebih banyak sisa-sisa keluarga Adipati Lumajang yang masih bersembunyi di wilayah Jawa dan tidak bisa terdeteksi.
-
Dimana kerangka-kerangka manusia abad keenam itu ditemukan? Para ahli arkeologi menemukan situs pemakaman khusus wanita dan anak-anak tepat di bawah permukaan bukit pasir Teluk Whitesands di Kota St David’s, Wales.
-
Bagaimana kerangka-kerangka manusia abad keenam itu terawetkan? Jenna Smith dari Dyfed Archaeological Trust yang memimpin penggalian mengatakan kerangka tersebut cukup awet karena seluruhnya terendam di dalam pasir.
Caranya dengan patroli keliling untuk menjaga rumah milik umat Hindu yang sedang ditinggal sembahyang di Pura. Bahkan, mereka juga berjaga di jalan masuk menuju dusun tersebut untuk menghalau warga luar yang akan masuk. Tujuannya supaya tidak mengganggu kekhusyukan umat Hindu menggelar sembahyang pada Hari Besar Nyepi.
Kehidupan warga yang penuh toleransi di Dusun Jlono memang sudah terjadi sejak turun temurun. Saking rukun dan harmonisnya kehidupan antar umar beragama di dusun tersebut sehingga ditetapkan sebagai 'Kampung Toleransi' sejak tujuh tahun silam. Sebagai penandanya, sebuah spanduk dengan tulisan 'Jlono Kampung Adat dan Budaya, Berbeda Itu Indah' terpasang di salah satu sudut jalan masuk menuju dusun tersebut.
Salah satu tokoh masyarakat Dusun Jlono, Andi Sutarto mengatakan, toleransi antar umat beragama di Dusun Jlono telah menjadi tradisi secara turun temurun. Selain umat Hindu, warga yang tinggal di dusun itu juga terdiri dari umat Islam dan Nasrani. Alhasil kampung ini penuh dengan kemajemukan dan keberagaman antar umat beragama.
"Sekali pun kami dari umat non Hindu, tapi kami juga ikut menjaga ketenteraman agar warga Hindu di sini merasa khidmat dan nyaman saat merayakan Nyepi," kata dia.
Bentuk kepedulian itu ditunjukkan dengan ikut bertanggung jawab menjaga situasi dan kondisi di dusun tersebut supaya kondusif selama Hari Raya Nyepi. Tak hanya itu, wisatawan yang biasanya saban hari mendatangi dusun itu untuk berwisata kebun dengan petik buah pun ditiadakan untuk menghormati hari besar agama Hindu itu.
"Untuk obyek wisata khusus di dalam kampung memang untuk sementara kami tiadakan dalam waktu 1 X 24 jam. Tapi kalau di luar kampung masih ada acara karena kita juga peduli dengan wisatawan yang berliburan di sini," jelas Andi.
Terpisah, Ketua RW 15 RT 01 Dusun Jlono, Citro Suwarso mengungkapkan masyarakat Dusun Jlono memang terdiri dari berbagai pemeluk agama. Hanya saja, dalam kehidupan sehari-harinya selalu mengutamakan kerukunan dan saling bantu-membantu tanpa membedakan agamanya.
"Kita di sini memang ibaratnya semua saudara jadi sudah menjadi kewajiban untuk saling membantu," ucapnya.
Bahkan, saat membangun sebuah tempat ibadah salah satu agama, semua warga ikut bergotong royong membantunya tanpa melihat apa agamanya. Seperti halnya saat membangun tempat ibadah agama Hindu, warga pemeluk agama Islam maupun Nasrani ikut membantunya.
"Saat membangun masjid juga demikian, warga yang beragama Hindu ikut membantu pembangunan masjid. Meskipun berbeda tapi kita hidup bergotong royong karena kebersamaan inilah yang diutamakan," tegasnya.
Sikap saling menghormati terlihat saat umat Hindu melakukan catur brata yang mana salah satunya tidak boleh menyalakan lampu. Adanya pantangan tersebut membuat warga yang beragama Islam dan Nasrani ikut melakukan hal yang sama, tidak menyalakan lampu, terutama lampu yang ada di bagian depan rumah.
"Kalau lampu jalan pasti dimatikan semua selama ritual catur brata. Lampu yang tidak dimatikan biasanya lampu yang ada di kamar. Itu pun bagi warga yang memiliki anak kecil yang menyalakan lampu kamar," tutur dia.
©2019 Merdeka.com/Liputan6.com
Setelah selesai pelaksanaan ritual catur brata, selanjutnya pada esok harinya warga yang beragama Hindu akan melakukan silaturahmi kepada warga lainnya yang beragama Islam dan Nasrani. Silaturahmi itu menyerupai saat umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan dengan mengunjungi rumah warga lainnya.
"Semua warga baik beragama Islam maupun Kristen dikunjungi oleh saudara kita yang beragama Hindu untuk saling memaafkan. Saat Lebaran juga begitu, mereka yang beragama Hindu juga mengunjungi rumah warga yang Islam untuk silaturahmi," ungkapnya.
Sementara itu Pemuka Pura Jonggol Shantika Loka, Gimanti mengakui wujud solidaritas umat pemeluk agama lain sangat tinggi di kampung ini. Hal ini terlihat saat melakukan catur brata, salah satunya amati geni atau tidak menyalakan lampu, para warga di lingkungan ini secara kompak tidak menyalakan lampu demi menghormati umat Hindu yang sedang Nyepi.
"Satu lingkungan itu ikut mendukung tidak menyalakan lampu selama 24 jam, namun sebatas lampu di depan rumah atau di jalan, tapi kalau sebatas menyalakan lampu di dalam rumah itu bagi yang punya anak kecil," kata dia.
Ia juga mengaku sangat berterima kasih kepada saudara umat Islam dan Nasrani di dusunnya karena saat warga beragama Hindu melakukan sembahyang Nyepi di Pura, mereka ikut membantu menjaga rumah yang ditinggal umat Hindu.
"Jadi warga yang non Hindu itu akan berpatroli dan berjaga di rumah yang sedang ditinggal umat Hindu sembahyang Nyepi di Pura," jelasnya.
Gimanti menyebutkan jumlah pemeluk Hindu di Dusun Jlono sebanyak 77 warga atau sekitar 25 KK. Sementara itu jumlah warga di kampung itu sebanyak 50 KK. "Dari jumlah itu sisanya warga yang beragama Islam dan Kristen,” kata dia.
Reporter: Fajar Abrori
Sumber: Liputan6.com
Baca juga:
Imam Besar Ghana Hadiri Misa di Gereja Demi Perdamaian Antaragama
Toleransi Beragama di Kampung Eks Tapol PKI
Kebersamaan Komunitas Muslim Tionghoa Indonesia Sajikan Menu Berbuka Puasa
Gubernur Lemhanas: Toleransi di Indonesia Alami Kemunduran
Larangan Warga Beda Keyakinan Bermukim di Desa Pleret Bantul Akhirnya Dicabut
Bupati Bantul Minta Aturan Warga Beda Keyakinan Dilarang Bermukim Dihapus