HTI dianggap sebagai gerakan dakwah bermuatan politik
Gerakan Hizbut Tahrir Indonesia dianggap bermuatan politik meski melalui pengajian dan dakwah. Kondisi ini dilihat dari rencana mereka mendirikan khilafah di Indonesia.
Gerakan Hizbut Tahrir Indonesia dianggap bermuatan politik meski melalui pengajian dan dakwah. Kondisi ini dilihat dari rencana mereka mendirikan khilafah di Indonesia.
Hal itu diungkapkan Sofiuddin, pembuat buku 'Gerakan Politik HTI, Mampukah Menjadi Gerakan Dakwah?' dalam keterangannya. Dari data dimilikinya, dia meyakini bahwa pendorong HTI merupakan gerakan politik.
"Mengutip guru saya KH Hasyim Muzadi, HTI jika dilihat dari gerbong-gerbongnya adalah gerakan dakwah, yakni melihat dari pergerakan pengajian-pengajian, pertemuan-pertemuannya. Namun, materinya mengarah pada keinginan mendirikan khilafah di Indonesia. Bahkan dilihat dari lokomotifnya itu ternyata bermuatan gerakan politik. Gerbongnya gerakan dakwah, lokomotifnya gerakan politik," kata Sofiuddin, Rabu (14/6).
Menurut dia, pernyataan Jubir HTI, Ismail Yusanto, juga memperkuat adanya gerakan politik. Namun, mereka belum memenuhi unsur representasi. Itu merupakan satu dari empat syarat, yakni pengkaderan, agregasi, artikulasi dan representasi.
Dalam penjelasannya, Sofiuddin mengaku bahwa bukunya tidak hanya sekedar menyikapi fenomena rencana pembubaran HTI belakangan ini. Ini juga bermula dari tahun sebelumnya, ketika terlibat dalam diskusi dan aktivitas HTI lainnya.
"Ini mirip dengan dakwahnya orang-orang NU, karena banyak kader HTI adalah orang NU," ujarnya.
Dalam diskusi dan peluncuran bukunya, dia juga mengundang beberapa pembicara untuk mendiskusikan isi buku setebal 192 halaman tersebut di Islam Nusantara Center (INC). Di antaranya adalah Wasekjend PBNU KH. Abdul Mun’in Dz, Sekjend PP GP Ansor Adung Abdullah, Staf Ahli Dewan Pertimbangan Presiden Bagian Sosial Keagamaan, Hilmi al-Siddiqy al-Araqy.
Menyetujui penjelasan Sofiuddin, Kiai Mun'im sebagai pelaku sejarah, membenarkan bahwa HTI merupakan Partai Politik. Kemudian, menurut dia, ketika HTI mengalami kesulitan perkembangan di Indonesia, lalu berkamuflase melalu berbagai kegiatan.
"Sehingga tidak menimbulkan ketegangan dalam dakwahnya. Kalau Wahabi pasti sudah berkonfrontasi dengan Ahlussunah wal Jamaah Nahdliyah dan Pesantren," kata Kiai Mun'im.
Sedangkan Adung Abdullah lebih melihat dari perspektif gerakan pemuda. HTI pada awal muncul di kampus, belum ada desakan pembubaran atau penolakan. Karena masih sebatas wacana akademik atau tahap edukasi.
"Ada dua kelompok besar dan strategis yang menjadi target HTI, yaitu kelompok terpelajar dan TNI-Polri. Walaupun belum pada gerakan makar, tapi jika dibiarkan akan sangat berbahaya," terang Adung.