IDI diminta tak intervensi penanganan kasus vaksin palsu
IDI diminta tak intervensi penanganan kasus vaksin palsu. IDI dinilai telah melakukan intervensi penegakan hukum dalam kasus pengungkapan vaksin palsu. IDI membela para dokter yang terbelit kasus vaksin palsu yang saat ini tengah ditangani polisi.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dinilai telah melakukan intervensi penegakan hukum dalam kasus pengungkapan vaksin palsu. IDI membela para dokter yang terbelit kasus vaksin palsu yang saat ini tengah ditangani polisi.
Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, Marius Wijaya meminta IDI tidak mengintervensi aparat penegak hukum dalam pengusutan kasus peredaran vaksin palsu.
"Saya sangat tidak setuju bila IDI menekan-nekan aparat, dengan menyatakan membela mati-matian dokter yang tersangkut vaksin palsu," kata Marius saat dihubungi wartawan, Kamis (22/9).
Menurut Marianus, dokter juga manusia biasa yang bisa khilaf dan melakukan kesalah. Sehingga menurut dia, wajar jika dokter diproses hukum jika memang terlibat kasus pelanggaran hukum.
"Dokter juga manusia, bukan malaikat, kalau ada yang salah yang silakan diproses, biarkan polisi, jaksa bekerja hingga ke pengadilan," ujar dia.
Menurut Marius, IDI hanyalah sebuah organisasi profesi, tidak berhak menyatakan seorang dokter salah atau benar. "IDI itu sama dengan yayasan konsumen seperti kami, NGO. Organisasi profesi, tidak berhak memutuskan, yang berhak memutuskan etik itu, Konsil Kedokteran Indonesia," ungkap dia.
Bila ada dokter yang melakukan pelanggaran, harus diproses melalui Konsil Dokter Indonesia. Lewat mekanisme sidang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
"Jadi jangan setiap dokter tersangkut kasus seperti malpraktik terus minta dibebaskan. Hormati proses hukumnya," katanya.
Dikatakannya, tidak ada dokter yang bisa bebas dari hukum. "Kalau salah ya salah, kalau benar ya benar. Lewati dulu proses pengadilan, kalau tidak salah, ya banding," ujar Marius.
Marius menambahkan, sebagai wakil konsumen kesehatan dia meminta agar proses hukum terhadap tersangka vaksin palsu dilanjutkan. "Polisi, jaksa jangan mau ditekan," ujar dia.
Sejumlah dokter dijadikan tersangka dalam kasus peredaran vaksin palsu, IDI pernah menyatakan, akan membela mati-matian para dokter tersebut.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Prof. Ilham Oetomo Marsis mengungkapkan, ketiga dokter itu merupakan anggota IDI yang harus dibela. "Karena bagaimana pun juga mereka tetap anggota kami, Ikatan Dokter Indonesia," ujar Ilham, Juli 2016 silam.
IDI, kata dia, menekankan azas praduga tak bersalah kepada para dokter itu. "Kami tidak boleh langsung katakan dia bersalah. Dan sepanjang dia belum dinyatakan bersalah, itu kewajiban kami untuk melakukan pembelaan," ungkap Ilham.
Sekadar diketahui, kasus vaksin palsu mandek. Total ada 25 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus peredaran vaksin Palsu, sejak Juli 2016.
Puluhan tersangka itu merupakan produsen, distributor, pengepul botol vaksin bekas, pencetak label vaksin palsu, dokter dan bidan.
Kasus itu terbagi dalam empat berkas. Pada berkas pertama terdiri dari tujuh tersangka yaitu Rita Agustina, Hidayat Abdurrahman, Sutarman, Mirza, Suparji, Irna, dan Irmawati.
Berkas kedua, terdiri dari Sugiarti, Nuraini, Ryan, Elly, Syahrul, dokter I, dokter Harmon, dokter Dita. Sementara itu, dalam berkas ketiga isinya tersangka Agus, Thamrin, Sutanto, dan dokter HUD.
Berkas keempat, terdiri dari Syahfrizal, Iin, Seno, M Farid, dokter Ade, dan Juanda.
Berkas pertama kali diserahkan Bareskrim ke Kejaksaan Agung pada 26 Juli 2016. Namun, hingga kini berkas kasus tersebut masih bolak-balik. Kejagung menyatakan, berkas belum lengkap.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Irjen Agus Riyanto mengatakan, berkas kasus vaksin palsu telah dua kali dikembalikan oleh Kejaksaan Agung.
"Berkas sudah kami kembalikan. (Pelimpahan berkas) Pertama kami sudah limpahkan dan dikoreksi (dari Kejaksaan Agung). Ada petunjuk (yang harus dilengkapi), Dua minggu lalu sudah serahkan kembali," ujar Agus.
Sementara itu, Direktur Tipideksus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya saat dikonfirmasi menyatakan, adanya petunjuk jaksa bahwa berkas perkara yang semula empat agar dipisah menjadi 25 berkas.
"Berdasarkan petunjuk P-19 jaksa, berkas perkara diminta agar di-split menjadi 25 sesuai jumlah tersangka. Jadi dipisah masing-masing tersangka satu berkas," kata Agung Setya.
Saat diminta komentarnya tentang perubahan jumlah berkas perkara tersebut, Agung Setya meminta agar wartawan langsung menanyakan ke kejaksaan agung. Bila berkas perkara dijadikan satu yang melibatkan semua jaringan dari pembuat vaksin palsu hingga pengguna (dokter dan bidan) maka akan terlihat jelas kejahatan para pelaku dalam satu kesatuan sehingga hukuman maksimal bisa diterapkan.
Namun, jika berkas dipisah masing-masing tersangka, maka penerapan hukuman tidak akan maksimal karena kejahatan dalam jaringan vaksin palsu tidak terlihat.