Ikat Kepala 'Reformasi Damai' & Memoar Aksi Mei 1998 di Purwokerto
“Mobil itu saya adang. Begitu turun mobil, saya langsung ditodong pistol di sini. Pas,” cerita Agus sembari menunjuk keningnya.
Segerombolan mahasiswa memulai long march dari kawasan kampus masing-masing. 20 Mei 1998, mereka berkumpul alun-alun Purwokerto. Titik yang dianggap merepresentasikan simbol kekuasaan. Gerakan punya satu misi, menuntut Soeharto mundur dari jabatan presiden.
Mereka tergabung dalam Forum Aksi Mahasiswa Purwokerto untuk Reformasi (FAMPR) telah merancang 4 titik aksi yang tersebar di kawasan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Universitas Wijaya Kusuma (Unwiku) dan STAIN Purwokerto.
-
Kapan Wanda Hamidah terlibat dalam kerusuhan Mei 1998? Wanda juga termasuk mahasiswi yang ikutan terjun ke lapangan saat Kerusuhan Mei 1998.
-
Apa yang terjadi pada tanggal 11 Mei 1997? Pada 11 Mei 1997, Deep Blue, yang dikembangkan oleh IBM, berhasil memenangkan pertandingan melawan Garry Kasparov, dan mencatatkan sejarah sebagai komputer pertama yang mengalahkan juara dunia catur.
-
Kenapa Tragedi Semanggi 1 terjadi? Aksi ini dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap agenda dan pelaksanaan Sidang Istimewa MPR yang menunjuk B.J Habibie sebagai presiden menggantikan penguasa Orde Baru.
-
Di mana tragedi ini terjadi? Hari ini, 13 November pada tahun 1998 silam, terjadi demonstrasi besar-besaran di kawasan Semanggi, Jakarta.
-
Kapan tragedi ini terjadi? Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998. Kejadian ini menyebabkan tewasnya 17 warga sipil.
-
Apa yang terjadi di Tragedi Semanggi 1? Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998. Kejadian ini menyebabkan tewasnya 17 warga sipil.
Di alun-alun Purwokerto, Agus Wahyudi dipercaya mengkoordinir simpul massa dari Forum Aksi Pelajar Purwokerto untuk Reformasi (FAPPR). Agus mengenakan jas almamater kebanggaan Unsoed. Di keningnya, terikat ikat kepala putih bertuliskan “Reformasi Damai” berwarna merah.
Jam menunjuk pukul 10.00 WIB. Suasana di alun-alun Purwokerto riuh. Para pelajar dan masyarakat memadati jalanan. Yel-yel mulai lantang terdengar. Agus Wahyudi mengenang, saat itu massa aksi di alun-alun Purwokerto dalam posisi menunggu kedatangan massa aksi dari kampus lain.
Pukul 13.00 WIB siang, gelombang massa makin besar. Agus melihat mobil bergerak mendekati massa aksi. Dari mobil itu, turun seseorang mengenakan seragam militer.
“Mobil itu saya adang. Begitu turun mobil, saya langsung ditodong pistol di sini. Pas,” cerita Agus sembari menunjuk keningnya.
Waktu itu, Agus juga ditendang beberapa aparat militer. Tapi, tak ada rasa takut menggelayut batinnya. Saat mengadang aparat, yang terlintas di pikiran Agus hanya demi melindungi aksi massa. Dalam benaknya, 'Kekuatan represif aparat militer mesti diadang agar tidak,'
“Sudah risiko aku ditodong, ditendang aparat. Ketika aku ditodong pistol dan aku dituduh sebagai provokator yang akan membikin ricuh Purwokerto, saya tidak banyak mendebat. Mereka saya suruh saya baca tulisan Reformasi Damai di ikat kepala saya,” kata Agus mengenang.
Massa di alun-alun Purwokerto, pasca insiden penodongan pistol itu secara bertahap lalu ditarik mundur oleh mahasiswa. Tak ada yang celaka hari itu. Tapi seiring perjalanan massa yang hendak disatukan ke kawasan Unsoed, ketegangan belum usai.
Di tengah perjalanan, massa dari alun-alun menuju kawasan Unsoed. Barid Hardiyanto ikut serta di kerumunan massa meninggalkan lokasi unjuk rasa. Barid, saat itu ditunjuk sebagai Wakil Koordinator Lapangan (Wakorlap) aksi Reformasi Damai dari FAMPR. Momentum 20 Mei 1998, dipandang Barid sebagai aksi unjuk rasa terbesar di Purwokerto.
“Di Purwokerto, unjuk rasa mulai Maret, April untuk melawan rezim Orba. 7 Mei bentrokan pertama, itu semakin kemudian bereskalasi. 12 mei bentrokan besar lagi. 20 Mei adalah momentum kita ingin membuktikan bahwa ini jadi aksi terbesar. Dan Pada waktu itu dalam konteks Banyumas, itu aksi terbesar, 30.000 sampai 50.000 massa berkumpul,” kata Barid.
Mengenang peristiwa 20 Mei 1998, Barid mengingat ada dua momen. Saat aksi di alun-alun, ia sempat kucing-kucingan dengan militer setelah rekannya, Agus Wahyudi, ditodong pistol. Ingatan lain, ketika Barid membawa massa dari alun-alun untuk pulang sempat akan terjadi kerusuhan di salah satu lokasi perbelanjaan.
“Tapi berhasil kita halau, dengan seruan dari toa juga dengan tim. Massa bisa kita tarik kembali dan tertib,” kenang Barid.
Barid Cs ingin mengingatkan penguasa bahwa aksi Reformasi Damai betul-betul mengkampanyekan tindakan anti kekerasan. Pendekatan aksi damai memang sejak awal dipilih oleh mahasiswa, sebab saat itu ada keyakinan, kerusuhan diciptakan secara sengaja oleh pihak-pihak tertentu untuk menjadikan mahasiswa sebagai kambing hitam.
“Bentrokan memang ada, tapi sifatnya vertikal, perlawanan terhadap penguasa yang dalam tanda kutip diwakili polisi dan tentara. Saya kira, tidak adanya kerusuhan di Purwokerto, apalagi yang merembet ke konflik horizontal, karena sifat masyarakat Banyumas yang moderat, tidak ekstrem, juga tidak rasis. Kalau bahasa sekarang, masyarakat Banyumas itu sangat toleran dan inklusif,” kata Barid.
Melawan Rezim tanpa Kekerasan
Nihilnya kerusuhan yang mewarnai demonstrasi-demonstrasi di Purwokerto dari pra sampai pasca tumbangnya rezim orba merupakan praktik anti kekerasan yang dilatih mahasiswa selama bertahun-tahun. Jarot C Setyoko, Korlap aksi Reformasi Damai FAMPR mengatakan, demonstrasi-demonstrasi di Purwokerto memang terorganisir betul dan rapi.
“Pada tanggal 20 Mei 1998, itu ada isu Purwokerto akan rusuh besar. Justru, mahasiswa saat itu berjuang mati-matian agar Purwokerto tidak terjadi rusuh. Agar demo tetap berlangsung, tapi tanpa satu cat pun tertulis di dinding-dinding pertokoan. Kita saat itu bikin pagar betis, tepatnya di SKB Unsoed, supaya massa yang jumlah puluhan ribu tidak masuk ke kota. Sebab saat itu ada isu, seribu massa masuk kota maka Purwokerto akan terbakar,” ujar Jarot.
Jarot mengenang, berhari-hari melakukan rapat sebelum aksi terbesar di Purwokerto pada 20 Mei 1998. Mahasiswa saat itu, membangun pagar manusia berlapis-lapis. Nilai-nilai anti kekerasan itu terkonsondalisasi dalam organisasi-organisasi perlawanan rezim orba. Juga menjadi gagasan yang terinternalisasi dalam praktik unjuk rasa.
“Kita sempat identifikasi ada kelompok-kelompok yang menginginkan kerusuhan pada 1998 di Purwokerto. Bahkan mereka sempat mengintimidasi kita dengan arakan-arakan sepeda motor di sekitar kampus. Tapi kerusuhan tak terjadi karena kami sadar, demonstrasi yang dilakukan dengan jumlah massa sangat besar, sangat riskan diboncengi dengan kepentingan,” ujar Jarot.
Di pusaran gelombang eskalasi protes dalam aksi reformasi 98, barangkali peristiwa 20 Mei 1998 di Purwokerto dikategorikan “kecil”. Tapi gerakan reformasi damai yang digulirkan mahasiswa Purwokerto, jadi contoh pengawalan gerakan yang sampai pasca lengsernya Soeharto tidak merembet ke persoalan-persoalan horisontal.
Padahal di kota-kota sekitarnya, Cilacap misalnya. Pada 30 Agustus 1998, ratusan nelayan mengamuk dan membakar puluhan kapal penangkap ikan, gudang perbekalan, membakar gudang perbekalan, membakar ratusan unit jaring di kompleks Pelabuhan Perikanan Nusantara Cilacap (PPNC) serta menjungkirbalikkan sejumlah truk di PPNC.
Kondisi serupa terjadi di Kebumen. Dalam buku Rusuh di Kebumen (1999. Institut Studi Arus Informasi), kerusuhan menyasar ke permasalahan etnis yang muncul dari isu penimbunan sembako oleh penguasa Tionghoa dan memuncak pada tragedi 7 September 1998.
Kemelut 98 yang merambat ke persoalan horizontal. Selepas kerusuhan di Jakarta dan Solo pada Mei 1998, susul-menyusul terjadi di Jawa Tengah mulai di Cilacap, Purworejo, Kebumen Brebes, Blora dan kembali ke Solo.
Hampir di semua kejadian itu, komunitas Tionghoa jadi sasaran amuk massa, korban yang menjadi kambing hitam. Sedang di Purwokerto sendiri, kota yang dianggap perkembangannya lebih cepat di Jawa Tengah bagian Selatan, serta laju ekonomi juga tak lepas dari peranan ekonomi masyarakat Tionghoa, kerusuhan horisontal tak mengemuka.
Reformasi damai dan prinsip anti kekerasan yang disuarakan oleh Jarot C Setyoko, Barid Hardiyanto, Agus Wahyudi dan aktivis lainnya di Purwokerto adalah keberhasilan tersendiri yang patut dicatat sebagai bagian momen bersejarah bangsa Indonesia mengawali babak baru penuh harapan.
Di masanya, mereka adalah bagian dari politik identitas anak muda yang mendamba kebebasan, tapi hidup di masa penuh pencekalan. Kisah hidup mereka adalah bagian dari sikap keberanian suatu generasi mempromosikan isu-isu hak asasi manusia tanpa peduli direpresi, dipenjara atau hilang 'ditelan' rezim.
Baca juga:
Memori Mei 1998: Melawan Hegemoni Soeharto dari Desa Cendono
Penjual Kopi Dadakan dan Mobil Misterius saat Pergerakan Mahasiswa Bandung 1998
Cerita Haji Embay Cegah Kerusuhan Mei 98 Meluas ke Banten Bagian Barat
Tragedi Mei 98: Surat Ancaman itu Datang Setiap Hari
Keluarga Korban Tragedi Semanggi I dan II Tempuh Kasasi atas Putusan PT PTUN