Imparsial Terbitkan Buku 'Penculikan Bukan Untuk Diputihkan', Ceritakan Jejak Kasus Aktivis Orba Hilang Tergerus Zaman
Buku diterbitkan bertepatan gerakan melawan lupa 17 tahun aksi Kamisan terhadap 13 korban aktivis 97-98
Buku diterbitkan bertepatan gerakan melawan lupa 17 tahun aksi Kamisan terhadap 13 korban aktivis 97-98
- Aktivitas Fisik yang Menyehatkan, Berkebun yang Penuh dengan Manfaat untuk Tubuh
- 5 Aktivitas Fisik yang Bisa Jadi Alternatif ketika Terlalu Sibuk untuk Berolahraga
- Irjen Dedi Raih Rekor MURI Perwira Tinggi Polri Penulis Buku Terbanyak
- Imparsial Terbitkan Buku 'Penculikan Bukan Untuk Diputihkan', Ada Cerita Istri Mendiang Munir
Imparsial Terbitkan Buku 'Penculikan Bukan Untuk Diputihkan', Ceritakan Jejak Kasus Aktivis Orba Hilang Tergerus Zaman
The Indonesian Human Right Monitor (Imparsial) meluncurkan buku 'Penculikan Bukan Untuk Diputihkan'. Buku tersebut diterbitkan bertepatan gerakan melawan lupa 17 tahun aksi Kamisan terhadap 13 korban aktivis 97-98 yang hilang diculik.
Buku tersebut digagas untuk kembali mengingatkan kepada masyarakat terkait kasus aktivis era Orde Baru yang hingga saat ini keberadaannya masih dipertanyakan dengan mengambil perspektif langsung dari pihak korban. Diantaranya Petrus Hariyanto korban penculikan, istri almarhum Munir; Suciwati, dan ayah Ucok Munandar; Paian Siahaan.
Penulis buku, Taufik Pram menceritakan buku tersebut ditulisnya berlabuh dari beberapa fenomena era Orde baru yang menurutnya meninggal represif militeristik kala itu.
Taufik yang kala itu masih duduk dibangku sekolah, kata dia era pendidikan saat itu sangat kental dengan pelbagai gejolak politik kepresidenan Soeharto. Seperti kebijakan dilarang membawa buku diluar mata pelajaran sekolah atau mempertanyakan tragedi Gerakan 30 September.
"Di SMA ada pelajaran sejarah ada repretisi film G30. Disekolah saya disuruh membikin resume. Dan waktu itu di resume saya mencoba mempertanyakan dengan nalar kritis polos saya kenapa dari sekian petinggi TNI kenapa hanya Soeharto saja yang tidak diculik," kata dia dalam peluncuran bukunya yang disiarkan melalui akun YouTube Imparsial, Kamis (18/1).
"Akhirnya tidak ada penjelasan di buku, saya saya mendapatkan jawaban, lalu saya dikeluarkan dari kelas," sambung ceritanya.
Ia mengaku semasa dirinya masih mengeyam di dunia sekolah narasi-narasu represif militeristik dari orba diterapkan di sekolah sangat terasa. Hingga akhirnya tiba di masa reformasi.
Insiden orba pun meninggalkan banyak tragedi yang selama 25 tahun meninggalkan banyak tanda tanya. Seperti hilangnya aktivitas 97-98 Munir dan kawan-kawan.
Isu itu pun terus bergulir hingga hingga saat ini. Bahkan setiap kali masa-masa Kampanye Pilpres digaungkan dengan kuatnya.
Taufik berujar, sebelum menulis bukunya, ia terlebih dahulu mencari refrensi soal kedudukan 13 orang yang hilang ini. Dari sekian buku yang dibacanya ditulis dari sejumlah purnawirawan TNI atau orang sekitarnya.
"Ternyata sebagian besar buku-buku yang saya baca dan dijadikan referensi untuk mencari jawaban sepanjang pertanyaan adalah buku-buku yang ditulis purnawirawan TNI dan orang disekitar mereka. Dan pada akhirnya narasi itu dikerucutkan ke polemik internal mereka bahwa ini yang salah. Hingga akhirnya nasib temen2 kita yang hingga saat ini belum ketemu malah diabaikan karena sibuk berpolemik di internal," pungkasnya.
Bahkan dalam beberapa tulisan yang dibacanya tentang tragedi hilangnya sejumlah aktivis, memberikan kesan degradasi 'berkompromi untuk menyambut masa depan'.
Penulis buku lainnya, Al Araf menyebut diterbitkannya buku 'Penculikan Bukan Untuk Diputihkan' untuk menjelaskan kepada publik sepanjang korban penghilangan paksa terhadap rezim. Tidak bisa pula semen-mena dihilangkan paksa jejak sejarahnya.
"Karena kejahatan masih berlangsung, belum selesai, keadilan belum dibentuk dan pelaku kejahatan masih beredar bahkan akan menuju kursi istana," pungkas dia.
Al Araf menambahkan, menurutnya dalam 20 tahun pemerintah tengah membangun 'politic of delay' yang pada intinya memutihkan kasus dugaan pelanggaran HAM.
Padahal sudah banyak rekomendasi-rekomendasi yang diberikan ke meja DPR tapi berakhir jalan di tempat.
"Tentu persoalan ini diungkap banyak buku menjelaskan kehilangan tapi perspektifnya bantah-bantah antar pelaku. Buku ini ingin menjelaskan tentang fakta-fakta dari kesaksian korban peristiwa penculikan supaya kita semua memahami bahwa penculikan aktivis era 98 bukan gosip, tapi fakta yang sampai sekarang belum selesai," kata Al Araf.