Indonesia Bisa Lepas Masker Akhir 2022, Ini Syaratnya
Sejumlah negara di Eropa melonggarkan pembatasan aktivitas sosial di tengah pandemi Covid-19. Seperti tak ada lagi kewajiban memakai masker di fasilitas umum dan fasilitas kesehatan. Negara tersebut di antaranya Denmark, Swiss, dan Swedia.
Sejumlah negara di Eropa melonggarkan pembatasan aktivitas sosial di tengah pandemi Covid-19. Seperti tak ada lagi kewajiban memakai masker di fasilitas umum dan fasilitas kesehatan. Negara tersebut di antaranya Denmark, Swiss, dan Swedia.
Sementara Indonesia masih menghadapi lonjakan kasus Covid-19. Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan, ada tiga kriteria dari akhir pandemi Covid-19.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Bagaimana virus Covid-19 pertama kali masuk ke Indonesia? Kasus ini terungkap setelah NT melakukan kontak dekat dengan warga negara Jepang yang juga positif Covid-19 saat diperiksa di Malaysia pada malam Valentine, 14 Februari 2020.
-
Apa yang menjadi tanda awal mula pandemi Covid-19 di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Kapan kasus Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan? Presiden Jokowi mengumumkan hal ini pada 2 Maret 2020, sebagai kasus Covid-19 pertama di Indonesia.
-
Di mana kasus Covid-19 pertama di Indonesia terdeteksi? Mereka dinyatakan positif Covid-19 pada 1 Maret 2020, setelah menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta.
-
Kapan virus menjadi pandemi? Contohnya seperti virus Covid-19 beberapa bulan lalu. Virus ini sempat menjadi wabah pandemi yang menyebar ke hampir seluruh dunia.
Pertama, kasus Covid-19 muncul dalam waktu empat atau enam bulan sekali. Kemunculan kasus Covid-19 juga hanya terjadi pada daerah dengan cakupan vaksinasi rendah.
Kedua, Covid-19 tidak mendominasi penyakit infeksi dan tak menimbulkan kondisi darurat. Ketiga, cakupan vaksinasi dunia sudah mencapai sekitar 70 persen atau sedikitnya 60 persen dari total populasi.
"Harus ada modal imunitas yang dominan, yang jelas tidak bisa kalau 50 persen. Harus di atas dari 50 persen, lebih dari setengah populasi sudah punya imunitas atau dua dosis," jelasnya kepada merdeka.com, Senin (21/2).
Menurut Dicky, kriteria ini merujuk pada situasi wabah SARS pada 2002 silam. Wabah SARS berakhir dua tahun yakni tahun 2004.
Dicky berpendapat, pandemi Covid-19 bisa berakhir pada akhir 2022. Meskipun kewenangan mencabut status pandemi dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Dengan catatan, negara-negara di dunia tidak gegabah melonggarkan aktivitas sosial.
"Kalau kita grasa grusu, kepengen cepat-cepat, padahal kemampuan belum ada, kondisi belum memungkinkan. Apapun kalau buru-buru, yang ada celaka," ujarnya.
Dicky mengatakan, sejumlah negara yang sudah melonggarkan aktivitas sosial karena dorongan politik dan ekonomi, bukan berdasarkan indikator kesehatan. Jika melihat indikator kesehatan saat ini, dunia masih menghadapi pandemi Covid-19.
"Jadi saya khawatir itu delusi. Jadi itu kalau tidak kuat, tidak memahami kondisi sesungguhnya berbahaya," ucapnya.
Terlalu gegabah keluar dari pandemi Covid-19 bisa menimbulkan bahaya baru. Misalnya, memicu munculnya varian baru Covid-19. Varian tersebut berisiko menurunkan efektivitas vaksin dan mempercepat proses penularan.
"Ini bisa menurunkan target yang sedianya akhir tahun ini kita bisa keluar, secara indikator kesehatan bisa keluar dari situasi pandemi, dia bisa mundur. Ini berbahaya, berbahaya sekali," kata dia.
Menurut Dicky, posisi Indonesia saat ini sudah benar. Indonesia belum melonggarkan aktivitas sosial secara total dan terus mempercepat vaksinasi. Meskipun, vaksinasi di Tanah Air masih rendah dibandingkan negara lain.
Indonesia sebagai Presiden G20 perlu mengajak negara lain untuk bersama-sama menghadapi pandemi Covid-19.
"Nah kalau juga kita ikut-ikutan, itu selain berbahaya untuk kita, karena masih jauh, juga berbahaya untuk dunia. Kita ini kan ketua Presidensi G20, harus memberi imbauan, harus mengingatkan sebagaimana WHO juga sudah mengingatkan," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Prof Tjandra Yoga Aditama menambahkan, ada empat hal yang membuat sejumlah negara melonggarkan restriksi. Pertama, sudah melewati puncak gelombang Omicron, kini kasus di negaranya menurun.
Kedua, cakupan vaksinasi dosis lengkap sudah lebih dari 80 persen dari total populasi. Ketiga, cakupan vaksinasi booster kemungkinan sudah lebih dari 70 persen dari total penduduk.
Keempat, memiliki fasilitas pelayanan kesehatan yang sangat siap untuk menghadapi gejolak peningkatan kasus Covid-19. Menurut Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara ini, tidak ada aturan baku untuk menentukan pelonggaran aktivitas sosial. Setiap negara dapat memutuskan masing-masing, termasuk Indonesia.
"Dalam hal ini tentu tetap perlu diwaspadai kemungkinan adanya varian atau jenis baru di masa datang, yang bukan tidak mungkin akan mengubah kebijakan yang sudah dibuat," katanya.
(mdk/rnd)