Ini deretan purnawirawan jenderal yang dinilai cocok jadi kepala BIN
Sosok seperti yang punya kapasitas untuk Kepala BIN bukanlah soal dia lahir dari militer atau sipil.
The Indonesia Intelligence Institute memonitoring nama kandidat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ideal. Menurut Analis Intelijen The Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib, Kepala BIN tidak harus dilihat dari latar belakangnya, tapi lebih penting adalah track record dan kompetensinya di bidang intelijen.
"Sosok seperti apa yang punya kapasitas untuk Kepala BIN bukanlah soal dia lahir dari militer atau sipil. Yang jauh lebih penting adalah track record dan kemampuan di bidang intelejen," ungkap Ridlwan di Kafe Ladang Kopi, Jl Paso, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Selasa (27/4).
Berikut nama-nama kandidatnya yang dianggap mumpuni mengisi jabatan strategis itu.
Pertama, Letjen (Pur) Marciano Nornan (61) pria kelahiran Banjarmasin, Kalimantan Selatan 28 Oktober 1954. Marciano pernah menjadi Direktur Analisa Lingkungan Strategis Kementerian Pertahanan, Pangdam Jaya, Komandan Paspampres, Dankodiklat dan saat ini masi menjabat sebagai Kepala BIN sejak 19 Oktober 2011.
Marciano dianggap mempunyai kelebihan yakni teruji dalam Pemilu 2014. Kondisi NKRI relatif kondusif dan gejolak dan tidak ada kejadian luar biasa terkait pemilu.
Menurutnya, BIN di era Marciano juga lebih terbuka terhadap media massa di antaranya dengan jumpa pers dan kunjungan media. Juga perbaikan di website www.bin,go.id yang mudah diaskes.
Kemudian, Dr (HC) As'ad Said Ali (66) lahir di Kudus, 19 desember 1949. Pernah menjabat sebagai Wakabin, saat ini As'ad menjabat sebagai Wakil Ketua PB Nahdlatul Ulama.
Kelebihan As'ad dinilai sangat ahli tentang BIN karena berkarir di lembaga tersebut sejak 1974 atau 40 tahun pengabdian. Dirinya dianggap mengetahui karakter dan seluk beluk BIN secara mendalam.
As'ad juga lama menjalani penugasan di Timur tengah dan paham tentang gerakan Islam yang bermacam-macam mazhan dan aliran.
Selanjutnya, Mayjen (pur) Tubagus Hasanuddin lahir di Majalengka 8 September 1952. Alumni Akabri 1974. Pernah menjadi ajudan mantan Wapres Try Sutrisno, ajudan mantan Presiden BJ Habibie, dan Sekretaris Militer Presiden (Sekmilpres) di era Megawati Soekarno Putri. Sekarang dia anggota Komisi 1 DPR.
Ia menilai, TB Hasanuddin memahami intelijen terutama militer. Kiprahnya sebagai anggota DPR di Komisi I sejak tahun 2009 dianggap memungkinkan TB Hasanuddin memahami celah-celah kekurangan BIN sebagai lembaga.
Selanjutnya, Marsadya (pur) Ian Santoso P (67), yakni putra pahlawan nasional Halim Perdanakusuma. Lahir di Madiun 17 Juli 1948 dan alumni Akabri 1970. Dirinya pernah menjadi Atase Pertahanan KBRI Singapura, Pangkosekhanudnas, Pangkoops AU dan ka BAIS.
Selain itu, Ian santoso pernah menjadi ka BAIS sehingga dinilai sangat memahami dunia intelijen. Ian juga tercatat sebagai salah satu purnawirawan jenderal yang mendukung Jokowi-JK dalam Pilpres 2014. Ian adalah sahabat baik Menhan Ryamizard Ryacudu.
Letjen (pur) Sutiyoso (70) alumni Akabri 1968. Kelahiran semarang 6 desember 1944. Pernah menjabat sebagai Wadanjen Kopassus, Kasdam, Pangdam Jaya, dan Gubernur DKI.
Sutiyoso lama di baret merah dan memahami baik tentang intelijen, terutama militer. Sutiyoso juga politisi yang mendukung Jokowi-JK pada Pilpres 2014.
Terakhir, Letjen Pur Sjafrie Sjamsoedin lahir di Makassar 30 oktober 1952. Lama berkarir di Kopassus, pernah menjabat Kapuspen TNI dan Wakil Menhan.
Sjafrie dinilainya memahami Intelijen terutama militer. Ia kenal ramah dan mudah diakses oleh media massa.