Ini jawaban JPU dituding saksi ahli ragu dakwa Ahok
Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus dugaan penodaan agama menepis tudingan yang disampaikan saksi ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Sharif Hiariej. Sebab Edward menyampaikan JPU ragu mengajukan dakwaan sehingga menggunakan pasal alternatif.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus dugaan penodaan agama menepis tudingan yang disampaikan saksi ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Sharif Hiariej. Sebab Edward menyampaikan JPU ragu mengajukan dakwaan sehingga menggunakan pasal alternatif.
Ketua JPU Ali Mukartono mengatakan, dakwaan yang diberikan kepada Basuki Tjahaja Purnama bukan untuk memberikan pilihan pada Majelis Hakim. Karena pihaknya menuntut dengan Pasal 156 dan Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
"Bukan ragu. Itu bagian dari sistem pendakwaan itu ada teorinya. Jadi bukan keraguan tindak pidana. Bukan. Jadi pilihan tindak pidana yang mana," katanya di Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (14/3).
Namun, dia mengakui belum dapat memastikan akan menjerat Basuki atau akrab disapa Ahok itu dengan pasal yang mana. Karena keputusannya masih harus menunggu tuntutan, sedangkan saat ini proses kesaksian masih berlangsung.
"Tuntutan dulu dong. Baru nanti terserah Majelis Hakim keputusannya seperti apa. Dia otonom dan independen untuk memutuskan," tutup Ali.
Sebelumnya, saksi ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Sharif Hiariej menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus dugaan penodaan agama ragu dengan dakwaannya kepada Basuki Tjahaja Purnama. Karena mereka menggunakan dua pasal untuk menjerat mantan Bupati Belitung Timur itu.
Edward mengatakan, JPU menuntut dengan Pasal 156 dan Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kedua pasal ini memiliki masa hukuman yang berbeda, di mana satu maksimal lima tahun dan lainnya hanya empat tahun.
"Kalau dakwaan alternatif disertakan berarti ada keraguan penuntut umum dalam mendakwa. Sehingga (JPU) minta kepada hakim untuk memilih dua pasal tersebut, yang mana yang berlaku," katanya di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Kamis (14/3).
Dia menilai, JPU kurang tepat dengan mendakwa Basuki atau akrab disapa Ahok itu menggunakan pasal 156 KUHAP. Karena, dia mengungkapkan, pasal tersebut bukan merujuk kepada penodaan agama.
"Pasal 156 tidak relevan. Tapi pasal 156 a lah yang relevan karena lebih detail. Cuma dalam Pasal 156 a harus dibuktikan dua hal yakni kesengajaan dan niat. Salah satu saja unsurnya tak terbukti, maka tidak bisa dikenakan," tutupnya.
Untuk diketahui, Pasal 156 KUHP menyatakan, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.