Jadi sasaran empuk aksi terorisme, polisi diminta selalu siaga
Jadi sasaran empuk aksi terorisme, polisi diminta selalu siaga. Kepala BNPT menyarankan polisi untuk lebih berhati-hati dan selalu dilengkapi senjata selama bertugas. Ini untuk meminimalisir ancaman aksi terorisme.
Kasus penyerangan terhadap petugas kepolisian di Tangerang belum lama ini menjadi perhatian serius Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT). Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius mengingatkan agar polisi lebih berhati-hati dan dilengkapi peralatan perlindungan keamanan selama bertugas.
Menurut dia, siapa pun bisa menjadi target serangan aksi terorisme. Namun demikian aparat kepolisian adalah yang paling rentan menjadi sasaran.
"Targetnya bisa siapa saja, bisa pemerintah atau pejabat pemerintah, pokoknya yang berseberangan akan dianggap musuh. Tetapi yang paling rentan memang polisi. Polisi harus lebih berhati-hati dan harus dilengkapi peralatan perlindungan keamanan," ujar Suhardi Alius kepada wartawan di Sukoharjo, Jumat (21/10).
Menurut dia, selama ini yang paling aktif polisi dan mudah untuk dijamah, terutama saat bertugas di tempat terbuka. "Kapolda dan jajarannya kami pesankan agar lebih waspada dan melengkapi anggotanya agar lebih aman menghadapi situasi seperti ini," katanya.
Terkait Sultan Aziansyah, pelaku penyerangan di Tangerang, Suhardi mengatakan Polri dan BNPT masih akan terus mendalami kemungkinan kaitan dengan jaringan tertentu. Pihaknya belum bisa mengambil kesimpulan apakah pelaku merupakan anggota jaringan dari kelompok ideologis tertentu.
"Dari hasil pemeriksaan kemungkinan bahwa Sultan merupakan pelaku dari kategori alone wolf (pemain tunggal). Pelaku memang membawa stiker mirip simbol ISIS dan ada pengaruh dari pemikiran sana. Tapi dia juga mendapatkan informasi mengenai pemikiran itu dari sosial media. Bom rakitan itupun dia belajar otodidak, hasil melakukan download dari sosial media," terangnya.
Atas kejadian tersebut, dia mengajak masyarakat agar lebih peduli dan segera melaporkan jika melihat ada keluarga atau orang dekat yang mulai menampakkan perubahan sikap, terutama pada remaja usia 15 tahun hingga usia 30 tahun. Usia tersebut, lanjut Suhardi, merupakan fase atau proses pencarian jati diri sehingga mudah menelan informasi sepihak yang bisa menjerumuskan.
Lebih lanjut Suhardi menerangkan, radikalisme bisa datang kepada siapapun. Berdasarkan survei dan fakta, pada anak usia dini hingga pendidikan tinggi sudah terpapar pemikiran radikalisme.
"Radikalisme itu soal mindset, kita semua harus waspada dan peduli dengan lingkungan. Kalau ada yang mulai tertutup dan terus-menerus bersama internet, segera laporkan," tutup Suhardi.