JK beda pendapat dengan Jokowi, Fahri sebut manajemen pasar kelontong
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyayangkan beda pendapat antara Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla soal Detasemen Khusus Tipikor yang bakal dibentuk Polri. Fahri meminta masalah ini diperbaiki karena menimbulkan kesan pemerintah tidak kompak.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyayangkan beda pendapat antara Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla soal Detasemen Khusus Tipikor yang bakal dibentuk Polri. Fahri meminta masalah ini diperbaiki karena menimbulkan kesan pemerintah tidak kompak.
"Sebenarnya begini lah ya etikanya supaya manajemennya tidak seperti pasar kelontong. Harusnya hasil rapat di DPR ini oleh Presiden dan Wapres dibawa dulu ke rapat kabinet," kata Fahri di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/10).
Menurutnya, Presiden Jokowi dan Wapres JK tidak seharusnya beda pendapat. Segala masalah dan agenda pemerintahan harus dikomunikasikan agar tidak berbeda pendapat di ruang publik.
"Presiden dan Wapres itu dwi tunggal istilahnya. Enggak boleh banyak kirim pesan yang enggak jelas. Ngomong dulu dong, kan ada telepon. Kalau orang di DPR ini boleh beda pendapat. Tapi kalau di eksekutif enggak boleh beda pendapat," tegasnya.
Lebih lanjut, Fahri menilai pemerintah tidak serius menanggapi setiap hasil rapat di DPR, termasuk soal wacana pembentukan Densus Tipikor. Kesal dengan sikap pemerintah, dia mengaku akan meminta Badan Anggaran untuk tidak mengesahkan anggaran pemerintah tahun 2018.
"Saya mau bicara sama Banggar ini kalau bisa kita jangan ngesahin anggaran pemerintah deh tahun ini. Capek juga pemerintahnya enggak serius," ujar Fahri.
Dia menyinggung ketidakseriusan pemerintah terlihat dari tindaklanjut atas setiap rekomendasi DPR yang seringkali diabaikan. Mulai dari rekomendasi terkait BUMN, hingga temuan Pansus Hak Angket KPK.
"Kita ini terus terang melihat ini jadi beban. DPR kasih rekomendasi soal BUMN tidak diindahkan. Sekarang audit Rp 4 triliun juga tidak diindahkan. Karena temuan-temuan di DPR yang serius ini kayak enggak punya posisi," tambah dia.
JK menyarankan agar tidak perlu Densus Tipikordan memaksimalkan unit antikorupsi yang sudah ada. Fahri menganggap hal itu hanya masalah konsolidasi kerja saja.
Namun, dia menegaskan bahwa tugas pemberantasan korupsi sebenarnya menjadi tugas Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan tugas KPK hanya sebagai pemicu agar Polri dan Kejaksaan memperbaiki diri dalam memberantas korupsi.
"Unit baru itu kan sebetulnya konsolidasi kerja aja. Bahwa ada isu yang namanya korupsi dalam UU No 30 tahun 2002 yang memberantas korupsi harusnya polisi," katanya.
"Cuma di UU dikatakan 15 tahun lalu belum berdaya guna, belum maksimal, belum optimal. Maka diperlukan lah triger namanya KPK. KPK itu trigger, kalau ibarat roket dia boosternya. Motornya dia starternya, businya apanya. Bukan yang inti. Intinya polisi tadi dan jaksa," tambah Fahri.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menolak pembentukan Densus Tipikor di tubuh Kepolisian RI. Dia menyarankan agar Kepolisian membantu KPK dalam memberantas korupsi.
"Difokuskan dulu lah di KPK itu, dan KPK dibantu, sambil bekerja secara baik," ujarnya di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (17/10).
Wapres JK menilai, tidak ada hal mendesak dalam memberantas korupsi sehingga belum diperlukan Densus Tipikor. Apalagi, KPK masih bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
"Tim yang ada sekarang (di KPK) juga bisa," ucapnya.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini khawatir jika Densus Tipikor dibentuk malah menimbulkan ketakutan bagi kepala daerah. Akibatnya, kinerja kepala daerah terhambat dan mempengaruhi situasi nasional.