Kapolri: Isu primordialisme sepertinya mulai mengental kembali
Kapolri: Isu primordialisme sepertinya mulai mengental kembali. Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan, perlunya mengembalikan ideologi demokrasi Pancasila berdasarkan prinsip Bineka Tunggal Ika. Alasannya, prinsip ini sudah diterapkan oleh pendiri negara dengan mengesampingkan perbedaan baik suku, agama dan ras.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan, perlunya mengembalikan ideologi demokrasi Pancasila berdasarkan prinsip Bineka Tunggal Ika. Alasannya, prinsip ini sudah diterapkan oleh pendiri negara dengan mengesampingkan perbedaan baik suku, agama dan ras.
"Saya pikir kita harus kembali menerapkan demokrasi Pancasila yang didasarkan pada prinsip Kebhineka Tunggal Ikaan. Artinya kita ini berbeda-beda berbagai macam suku, agama dan ras yang dulu oleh founding fathers kita di tahun 1928 sumpah pemuda, 1945 mereka sudah menepikan semua perbedaan-perbedaan itu dan mengikat dalam satu karakter yaitu bangsa Indonesia," tegas Tito usai menjalankan salat tarawih bersama dalam rangkaian acara Safari Ramadhan di Pondok Pesantren Radhlatul Thalibin, Leteh, Kabupaten Rembang, Jateng Selasa (6/6) malam tadi.
Tito menilai, ideologi demokrasi Pancasila harus dikembalikan karena saat ini marak muncul unsur isu primordialisme, ras dan suku di era demokrasi. Bahkan, demokrasi di Indonesia saat ini sudah menjurus dan mengarah pada demokrasi liberal sebagai dampak kebebasan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.
"Nah, kita melihat dengan adanya keterbukaan saat ini saya melihat bahwa unsur-unsur primordialisme itu sepertinya kok mulai mengental kembali. Orang mulai membicarakan keagamaan sendiri, membicarakan masalah ras, membicarakan masalah kesukuan. Ini yang tidak boleh, ini adalah dampak. Nggak ada yang salah," terangnya.
Tito meminta, kebebasan dan keterbukaan informasi di dalam NKRI jangan disalah artikan sebagai bebas sebebasnya tanpa batas dan aturan. "Saya tidak mengatakan bahwa demokrasi saat ini negatif sepenuhnya tidak ya. Banyak hal-hal positif tapi kita perlu waspadai dampak negatifnya. Jangan sampai keterbukaan ini diartikan sebebas-bebasnya," tutur dia.
Tito mencontohkan, penafsiran kebebasan dan keterbukaan informasi ini terjadi di sosial media dengan semakin banyaknya hujatan, penyebaran kebencian dan ujaran yang provokatif. Bahkan, kebebasan itu berujung pada pelanggaran kaidah, etika dan aturan.
"Contohnya saya kira nyata-nyatalah di media sosial. Saya kira banyak yang provokatif, banyak yang negatif. Atas nama kebebasan dan kemudian melanggar. Padahal ada aturan-aturan hukum, ada juga yang nggak ada aturan hukumnya. Nah ini perlu diatur dengan rules of law," bebernya.
Untuk meredam kebebasan yang cenderung kebablasan ini, Tito sengaja melakukan safari Ramadan untuk menjalin silaturahmi antara pemerintah, ulama dan TNI Polri guna mengantisipasi dan mencegah perpecahan.
"Memang dalam safari ini ya, sekali lagi kami Polri dan juga ada TNI, teman-teman dari Kodam di sini, Kodim kita semua mendekatkan silaturahmi bersama-sama dengan Pak Gubernur dan jajaran tadi ada Pak Bupati kita mendekatkan dengan para ulama. Jadi kalau para ulama memiliki kelebihan-kelebihan sendiri. Kemudian kedekatan kemampuan untuk mendekatkan diri pada Tuhan," ujarnya.
Tito menambahkan, dengan bertemu ulama KH Mustofa Bisri yang dikenal dengan pernyataan dan tausiahnya yang menyejukan maka kesejukan akan pula terjadi kesejukan di negara Indonesia ini yang kini terancam dalam perpecahan.
"Kemudian yang kedua, kenapa di Rembang? Karena saya pribadi sudah datang di beberapa tempat di Jawa Tengah tapi saya pribadi ingin kenal dengan Gus Mus karena beliau salah satu tokoh yang menurut saya menyejukan untuk bangsa ini. Setiap pernyataan – pernyataan beliau cenderung menyejukan dan sangat-sangat NKRI. Oleh karena itu saya safari pertama keluar Jakarta saya sengaja datang ke sini. Mudah-mudahan kesejukan yang dibawa beliau ini bisa terpancar ke Indonesia. Saya kira itu," pungkasnya.