Kasus Tolikara dan Aceh Singkil, catatan hitam toleransi beragama
Dua kasus ini menunjukkan masih adanya sikap intoleransi di antara warga negara Indonesia.
Pasal 28 e Undang-undang Dasar 1945 menyatakan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Jaminan ini merupakan hak dasar yang seharusnya dinikmati setiap warga negara Indonesia.
Namun, peristiwa pembakaran masjid di Tolikara Papua dan pembakaran gereja di Aceh Singkil menjadi catatan hitam kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia pada tahun 2015.
Di ujung timur Indonesia, tepatnya di Kabupaten Tolikara, umat Islam yang hendak melaksanakan salat id diserang oleh sekelompok orang. Musala Baitul Muttaqin hangus dibakar.
Sekelompok orang tiba-tiba menyerang jemaah yang sedang melaksanakan salat id di lapangan Makoramil 1702-11/Karubaga, sekitar pukul 07.00 WIT. Massa meminta salat id yang digelar di ruang terbuka dihentikan.
Sebelum peristiwa pembakaran musala dan penyerangan terhadap umat Islam yang hendak salat id, lebih dahulu beredar surat larangan salat Idul Fitri pada 11 Juli 2015 mengatasnamakan Jemaat GIDI Wilayah Tolikara.
Alasannya, pada Tanggal 13 sampai 19 Juli 2015 akan diselenggarakan Seminar dan KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) Pemuda tingkat internasional. Intinya, karena acara tersebut GIDI Wilayah Tolikara melarang adanya kegiatan Lebaran pada 17 Juli. Kemudian boleh merayakan Lebaran tetapi di luar kota dan melarang muslimah memakai jilbab.
Jemaat GIDI di Tolikara ini juga melarang gereja Denominasi lain mendirikan tempat-tempat ibadah di wilayah Kabupaten Tolikara. Mereka juga melarang gereja adven di distrik Paido. Surat tersebut ditandatangani Ketua Wilayah GDI Tolikara Nayus dan Sekretarisnya Marthen.
Setelah melalui proses pertemuan antara tokoh agama disepakati menempuh jalur adat. Sehingga tokoh agama kedua belah pihak menginginkan proses hukum dihentikan. Kesepakatan itu ditandatangani pada Rabu, 29 Juli 2015, mewakili umat Islam dan umat Kristen di Tolikara.
Namun polisi tetap melanjutkan proses hukum kasus ini dengan menetapkan dua tersangka. Sedangkan empat orang yang diduga terlibat masih dalam penyelidikan termasuk memeriksa bupati Tolikara sebagai saksi. Kedua tersangka berasal dari pihak jamaah Gereja Injil Di Indonesia (GIDI) yang juga warga asli Tolikara.
Berselang beberapa bulan kemudian, di ujung barat Indonesia, kasus intoleransi kembali terjadi. Kali ini, warga membakar rumah ibadah milik umat Kristiani di Aceh Singkil.
Penyerangan yang dilakukan mengakibatkan 2 orang tewas serta 4 orang luka-luka. Ribuan warga mengungsi akibat kejadian ini. Polisi sudah menetapkan 10 orang sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Dari 10 orang tersangka, tiga di antaranya sudah diciduk polisi.
"Perkembangan situasi pasca terjadinya bentrok Singkil, sampai saat ini, Polri dalam hal ini Polres Singkil dan Polda Aceh menangkap 3 tersangka yakni S, N dan I," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas Mabes Polri) Brigjen Pol Agus Rianto dalam keterangan pers di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (15/10).
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso menjelaskan, bentrok berdarah antar warga di Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil berawal dari tindakan warga mendirikan satu gereja dan undung-undung (tempat ibadah kecil). Tetapi, pendirian tempat ibadah tersebut tidak sesuai jumlah yang rencananya mau dibangun.
"Jadi secara diam-diam mereka menambah lagi, undung-undung sebanyak 10, ditambah 14 tadi jadi 24. Nah yang 10 mau ditertibkan, sementara 1 gereja dan 14 undung-undung ini pun belum selesai proses perizinannya, ya memang agak terlalu lama. Inilah kejadiannya kenapa terjadi aksi seperti itu," kata Sutiyoso di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (15/10).
Sementara Kapolri Jenderal Badrodin Haiti meminta sepuluh gereja yang tidak berizin di Kabupaten Aceh Singkil tidak dibongkar. Dia berharap, sepuluh tempat ibadah yang dipersoalkan oleh sejumlah pihak itu bisa dialihfungsikan sebagai tempat sosial.
"10 Undung-undung ini mau dibongkar dan saya berikan arahan saya bilang jangan sampai dibongkar. Kalau bisa dialihfungsikan jadi puskesmas, sekolah atau fasilitas sosial lainnya," kata Badrodin saat dikonfirmasi, Jakarta, Selasa (20/10).
Atas kejadian di Tolikara dan Aceh Singkil, Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Ridwan meminta pemerintah adil dalam menyelesaikan kasus.
"Seperti kasus Tolikara, di mana pelaku yang membakar gereja dan menyerang umat saat salat Idul Fitri tidak terkena sanksi hukum. Tapi saat kasus Singkil Aceh, pelaku langsung ditelanjangi dan dikenakan sangsi hukum," ujarnya saat menghadiri Silatnas Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) di Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, Minggu (27/12).
Pemerintah, katanya, seharusnya berdiri di tengah-tengah. Sehingga pelakunya dapat diadili dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
"Posisi umat Islam sudah sangat santun dalam menghadapi semua kejadian yang menyudutkan nama Islam. Pemerintah harus mampu untuk berdiri dan menjalankan hukum dengan sebaik-baiknya. Jika memang salah, ya harus di hukum," katanya.
Di tempat yang sama staf Kepresidenan Teten Masduki mengatakan bahwa pemerintah sudah melakukan hal yang adil dan dialog pun telah dilakukan.
"Pemerintah selalu berusaha untuk bersikap adil dan menegakkan hukum secara benar. Untuk kasus Tolikara, kami sudah mengadakan dialog dengan semua pihak terkait. Dan proses pembangunan masjid juga sudah dilakukan," ujar Teten.
"Posisi pemerintah sebagai pelindung semua warganya," pungkasnya.