Keberanian dan kemandirian capim KPK dari Polisi-Jaksa diragukan
Menurut Refli, pelemahan KPK mudah dengan cara kriminalisasi penyidik hingga pimpinan.
Pengamat Hukum Tata Negara Refli Harun curiga dengan maraknya peserta seleksi Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi, berasal dari Kejaksaan dan Kepolisian. Dia memperkirakan hal itu nantinya justru berpotensi melemahkan KPK di kemudian hari.
"Kalau kader Kejaksaan dialihkan pada KPK malah menimbulkan pertanyaan besar. Kalau paradigmanya mau memperkuat KPK bukannya terbalik. Publik jadi bertanya jangan-jangan untuk menundukkan KPK pada jaksa dan polisi nakal," kata Refli di Kantor lembaga nirlaba Indonesia Corruption Watch, Kalibata, Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (17/8).
Justru menurut Refli, jika Kejaksaan atau Kepolisian ingin menegakkan pemberantasan korupsi, harusnya tidak 'membuang' kadernya. Lebih baik, lanjut dia, mereka diberikan posisi di dalam lembaga itu.
"Kalau mereka punya integritas tinggi, kenapa tidak ke Kejaksaan atau Kepolisian. Karena di situ mereka lebih dibutuhkan. Tapi bagaimana bisa mereka ke KPK berniat untuk memperbaiki, itu keliru," tuturnya.
Refli melanjutkan, sebenarnya KPK membutuhkan pimpinan memiliki integritas tinggi, berkualitas, dan berani. Bahkan, dia berharap masing-masing pimpinan harus bebas dari kepentingan politik dan pribadi. Maka dari itu, dia khawatir jika pimpinan KPK berasal dari Polri atau Kejaksaan, akan sulit menindak korupsi di dua lembaga itu. Sebab, mereka akan tersandera dengan konflik kepentingan.
"Kita tak cukup cuma kualitas dan integritas, tapi diam saja. KPK menghadapi tantangan berbeda dari terdahulu mereka yang terpilih. Paling tidak harus memiliki skill komunikasi yang tinggi. Punya kewibawaan yang dipandang, dikenal publik secara luas. Dia bisa berbicara dengan lembaga tinggi negara dengan egaliter, berwibawa," pungkasnya.
Refli juga menyayangkan jika ternyata melemahkan KPK itu sangat mudah dilakukan. Baginya semudah membalik telapak tangan. Beberapa di antaranya yaitu dengan cara mengkriminalisasi penyidik maupun pimpinan KPK.
"Dulu itu tidak mudah. Yang ditakuti orang itu dulu dipanggil dua hal, dipanggil yang maha kuasa dan KPK," tegasnya.
Refli juga menegaskan bahwa sebenarnya berdirinya KPK justru untuk memberantas korupsi. Hal tersebut dikarenakan polisi dan Kejaksaan tak bisa bertindak secara independen.
"Kita tahu bahwa KPK dihadirkan karena lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dianggap belum efektif dan efisien dalam menindak korupsi. Maka diadakan KPK. Bahasa lebih terus terangnya ialah masih belum bisa dipercaya," pungkasnya.
Sebab tantangan ke depan KPK adalah melawan korupsi di institusi Polri, Kejaksaan, maupun Kementerian. Maka dari itu sangat diperlukan capim yang independen. Tidak malah terpatok bahwa orang KPK harus dari Kepolisian atau Kejaksaan.
Refli sebenarnya tidak terlalu menyalahkan ada capim KPK dari Kepolisian atau Kejaksaan. Asalkan punya kekuatan independensi. Selain itu dia berharap agar Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK bisa mempertimbangkan jarak pensiunan capim dari Kepolisian atau Kejaksaan. Sebab hal tersebut tetap akan berkaitan dengan independensi menegakkan hukum.
"Pansel ini kan tidak semuanya yang sudah berbawah-basah pada anti korupsi di tingkatan masyarakat. Seluruhnya orang yang sudah berkarir. Bukan orang yang sehari-hari terlibat pada beceknya isu korupsi. Ada gap dengan pengalaman kerja mereka dengan problem pemberantasan korupsi di lapangan. Saya tidak menemukan masalah KPK kemarin. Yang ada hanyalah KPK dikriminalisasi karena menindak seseorang," tutupnya.
Sementara itu direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menyayangkan di dalam institusi Kepolisian tidak ada iklim serius untuk memberantas korupsi. Dia menuding bahwa sejauh ini proses penanganan korupsi yang dilakukan Kepolisian hanya untuk meninggikan citra semata.
"Tindakan polisi yang melakukan penyidikan korupsi saya melihat itu hanya untuk menutupi citra Kepolisian yang disorot publik," kata Ray di lokasi sama.
Menurut Ray, ketidakseriusan Kepolisian misalnya dalam menangani kasus korupsi UPS di DPRD DKI Jakarta. Sampai hari ini belum ada kelanjutan dari proses penyelidikan lanjut. Tersangkanya masih saja dua orang.
Padahal bagi Ray, Kepolisian justru punya kewenangan lebih kuat dari pada KPK. Namun pemberantasan korupsi bukan menjadi acuan bagi kinerja Kepolisian. Maka dari itu Ray menyayangkan keputusan Kepolisian untuk mendistribusikan kadernya mengikuti proses seleksi capim KPK.
"Jauh lebih bagus pihak Kepolisian untuk mendominasikan orang terbaik mereka justru untuk memperkuat polisi. Menjadi garda depan pemberantasan korupsi di Kepolisian," tuturnya.
Ray menegaskan bahwa dibutuhkan insitusi polisi yang kuat untuk berantas korupsi dari internal mereka sendiri. Maka dari itu orang-orang terbaik di Kepolisian seharusnya dibuatkan tempat khusus di Kepolisan, berupa badan anti korupsi. Lantas hal tersebut yang justru menimbulkan kecurigaan bagi publik.
"Mengapa Kepolisian tidak nyaman mencari pendekar anti korupsi di lembaganya sendiri?" tanya Ray.
Padahal menurut Ray, jika KPK menetapkan tersangka, maka akan ada banyak pihak yang menyerangnya. Sedangkan jika Kepolisian yang menetapkan tersangka, maka sedikit yang berani menghantamnya.
"Kalau Kepolisian yang menetapkan seorang tindak pidana korupsi jauh lebih aman. Oleh karena itu Polisi jangan mendorong orangnya keluar, orang terbaik taruh di dalam," terangnya.
Ray juga turut menegaskan bahwa dengan adanya personel Kepolisian yang lolos seleksi Pansel KPK, justru akan mencoreng citra Kepolisian. Hal tersebut lantaran mengapa Polisi tersebut lebih berani ungkap korupsi ketika bekerja di KPK, bukan sebaliknya semakin percaya diri mengungkap dari institusi Kepolisian.
"Muncul sebagai penegak korupsi setelah keluar dari Kepolisian. Apa yang terjadi dalam institusi polisi. Bukan sebaliknya polisi bangga ada alumni yang masuk KPK, harusnya mereka malu. Kok orang mereka baru dikenal penegak korupsi ketika masuk KPK. Harusnya dia dikenal sebagai polisi penegak korupsi ketika di institusi Kepolisian," pungkasnya.