Kegigihan dan kesederhanaan Wamen AR Baswedan
Sampai akhir hayatnya AR Baswedan tidak memiliki rumah. Tapi dia meninggalkan 5.000 buku dari berbagai bahasa.
Posisi wakil menteri sudah ada sejak zaman Soekarno. Tugas menteri saat Indonesia baru merdeka memang tidak mudah. Selain kurangnya dana, ancaman dari Belanda yang ingin kembali berkuasa masih terus mengintai. Menjadi pejabat saat itu ibarat satu kaki berdiri di penjara, satu kaki di kuburan.
Salah satu wakil menteri yang pengabdiannya tidak diragukan adalah Wakil Menteri Penerangan Kabinet Sjahrir III, Abdurrahman Baswedan. AR Baswesdan adalah anggota delegasi pertama RI yang melobi negara-negara di Timur Tengah untuk mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Dia berangkat bersama Menteri Penerangan Mohammad Natsir dan Wakil Menlu Agus Salim.
Perjuangan ini membuahkan hasil. Mesir adalah negara pertama yang mengakui Republik Indonesia secara de facto dan de yure. Lobi panjang melalui Liga Arab dan di Mesir itu menjadi tonggak pertama keberhasilan diplomasi RI. Selanjutnya negara-negara lain ikut mengakui Indonesia sebagai satu negara baru. Hal ini jelas memperkuat posisi Indonesia di mata internasional.
Soal nasionalisme, AR Baswedanmemang tidak diragukan. Dia memang keturunan Arab, tapi seluruh jiwanya merah putih. Di zaman penjajahan Belanda, keturunan Arab disejajarkan dengan keturunan Tionghoa. Posisi mereka ada di kelas nomor dua. Kelas pertama adalah golongan Eropa, lalu Arab dan China, baru pribumi.
Tapi AR Baswedan justru meminta agar keturunan Arab di Indonesia memandang Indonesia sebagai tanah airnya. Dia mengucapkan hal itu tahun 1934, saat itu usianya baru 20 tahun.
"Keturunan Arab yang lahir di Indonesia, yang hidup di Indonesia dan yang ingin mati juga di Indonesia, hendaknya memandang Indonesia sebagai tanah airnya," ujar AR Baswesdan seperti ditulis M Roem dalam buku 'Bunga Rampai dari Sejarah jilid 3' yang diterbitkan Bulan Bintang.
Baswedan juga sangat cerdas. Dia seorang intelektual yang gemar membaca buku. Dia juga wartawan yang kritis dan tangguh. Baswedan bekerja bukan untuk gaji. Di Sin Tit Po ia mendapat 75 gulden (waktu itu beras sekuintal hanya 5 gulden). Tapi demi perjuangan dan nasionalisme, dia tetap keluar dan memilih bergabung dengan Soeara Oemoem, milik dr Soetomo dengan gaji 10-15 gulden sebulan.
Pejuang ini juga sangat sederhana dan tidak pernah memikirkan harta material. Sampai akhir hayatnya AR Baswedan tidak memiliki rumah. Dia dan keluarga menempati rumah pinjaman di dalam kompleks Taman Yuwono di Yogyakarta, sebuah kompleks perumahan yang dipinjamkan oleh Haji Bilal untuk para pejuang revolusi saat Ibukota di RI berada di Yogyakarta. Mobil yang dimilikinya adalah hadiah ulang tahun ke 72 dari sahabatnya Adam Malik, saat menjabat Wakil Presiden.
Tapi dia meninggalkan 5.000 buku dari berbagai bahasa. AR Baswedan meminta agar buku peninggalannya dijadikan perpustakaan. Dia ingin agar semua rakyat Indonesia bisa membaca buku dan menjadi pintar.
"Baswedan sejak kecil tertarik kepada membaca buku-buku. Sesuai dengan wahyu Quran pertama yang terdiri dari perkataan 'bacalah'," kenang M Roem.