Kenapa gaji jurnalis di Indonesia rendah?
Hampir setiap tahun, misalnya tiap peringatan hari buruh sedunia, isu kesejahteraan ini selalu diusung para jurnalis.
Isu upah layak jurnalis di Indonesia memang menjadi persoalan klasik. Hampir setiap tahun, misalnya setiap peringatan hari buruh sedunia (May Day) pada 1 Mei, isu kesejahteraan ini selalu diusung berbagai elemen jurnalis, tak terkecuali tahun ini. Kenyataannya, isu kesejahteraan itu masih jauh dari kata selesai.
Direktur Eksekutif Serikat Penerbitan Surat Kabar (SPS) Asmono Wikan, mengatakan gaji jurnalis berkorelasi dengan kondisi perusahaan media sendiri. Tahun ini misalnya, kecenderungannya perusahaan media cetak bakal menahan diri untuk menaikkan gaji jurnalisnya, karena pertumbuhan perekonomian nasional seret, hanya 4,7 persen, menurun dari tahun lalu sebesar 5 persenan.
"Artinya kalau ada perusahaan yang menaikkan gaji karyawan tahun ini, itu luar biasa. Berarti mereka tidak merasakan tekanan ekonomi makro saat ini. Yang penting kuncinya gaji jurnalis di Jakarta sudah standar ya, yang bermasalah itu justru di daerah," kata Asmono saat dihubungi merdeka.com, Selasa (19/05).
Di sisi lain, dia memberi gambaran sekarang ini kurs dolar mencapai Rp 13 ribu. Hal itu otomatis mempengaruhi harga barang-barang impor, salah satunya harga kertas koran. Apalagi sampai sekarang banyak perusahaan-perusahaan media cetak yang menggunakan kertas koran impor. Misalnya harga kertas naik Rp 500, kata dia, itu akan berpengaruh terhadap harga koran sekitar 5 sampai 10 persen.
Asmono mencontohkan, ketika kurs dolar masih Rp 10 ribu. Satu kilo kertas seharga USD 10 dolar, itu perusahaan bisa mencetak 10 eksemplar sebanyak 16 halaman. Kalau sekarang dolar menjadi Rp 13 ribu, itu berarti sekarang lebih mahal. "Itu pasti ada implikasi pada kondisi koran," tuturnya.
Di sisi lain kenaikan riskas atau harga iklan media cetak setiap tahun tidak lebih dari 20 persen. Menurut dia, jarang sekali perusahaan menaikkan harga iklan tahun ini dibanding tahun lalu sampai 25 persen.
"Itu almost impossible, kecuali koran-koran atau surat kabar yang mempunyai posisi kuat di pasar terhadap pengiklan, misalnya Kompas."
Pada kuartal pertama tahun 2015 ini, Asmono juga menduga pendapatan iklan surat kabar tidak sebagus kuartal pertama tahun 2014 akibat faktor ekonomi makro dan kenaikan harga dolar tersebut. Tahun lalu, pendapatan total iklan media cetak dalam setahun sekitar Rp 34 triliun. Dari jumlah itu sekitar 80 persen atau setara Rp 28 sampai 29 triliun dimakan oleh koran harian, selebihnya dimakan oleh tabloit dengan majalah.
"Itu gross ya. Nah sekarang ini, kalau kita bisa mendapat angka sama dengan tahun lalu sampai akhir Desember nanti itu sebenarnya sudah bagus. Tetapi kita lihat lah, selama dolar tidak bisa turun di bawah Rp 11 ribu, itu berarti menjadi sinyal kurang menggembirakan bagi kami," ujarnya.
Sebab, dia melanjutkan, selama ini ongkos produksi untuk koran; meliputi belanja kertas, tinta, dan ongkos cetak, rata-rata memakan 60 persen pendapatan perusahaan. Sisanya sebesar 40 persen itu untuk SDM termasuk gaji jurnalis, promosi dan sirkulasi. Terkadang ada perusahaan media cetak yang ongkos produksinya sampai membengkak 65 persen, tapi ada juga yang hemat 50 sampai 55 persen.
"Saya bisa konfirm, bahwa kondisi ekonomi makro sekarang memang menekan industri pers. Jadi peningkatan kesejahteraan tahun ini agak sulit karena memang kondisi perusahaan juga sedang sulit. Ini pilihannya memang pahit, belum lagi dihadapkan pada penetrasi media online," ujarnya.
Sementara itu, Divisi Iklan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Neil Tobing, mengatakan pendapatan iklan televisi masih akan tumbuh sekitar 9 persen tahun ini. Namun demikian, soal kesejahteraan atau gaji jurnalis, dia tidak bisa menjelaskan detail. Sebab, kata dia, gaji jurnalis masuk dalam biaya produksi. Misalnya untuk ongkos produksi televisi berita (news) dan televisi entertainment.
Menurut Neil Tobing, ongkos televisi berita masih lebih murah dibanding televisi entertainment. Televisi news selama ini hanya menyangkut keredaksian, termasuk upah kontributornya. Sementara televisi entertainmen lebih pada biaya untuk rumah produksi (Production House/PH).
"Di kita kan ada arus khas dalam pengelolaan keuangan. Kita ada kisaran arus khas yang harus kita kelola. Jadi kita mengelola khas itu, apakah ongkos produksinya dikurangin atau seperti apa. Tapi sejauh ini biaya produksi masih seperti tahun lalu. Tapi tergantung peristiwa, kalau ada peristiwa besar biasanya ongkos pasti meningkat."
Neil Tobing masih optimistis dengan riset tentang perkiraan pertumbuhan kue iklan televisi dari Media Partner Asia (MPA). Riset yang dipublikasikan pada Oktober 2014 lalu itu menggambarkan perkiraan pertumbuhan iklan televisi sebesar 11 sampai 13 persen dari tahun 2014 sampai 2017. Pada kuartal pertama tahun lalu pendapatan iklan televisi mencapai USD 1,54 miliar atau sekitar Rp 18 triliunan.
Kue iklan televisi itu, dia melanjutkan, lebih besar dibanding dengan pendapatan iklan media cetak. Kalau 100 persen total Adex (advertorial expenditure) media nasional, sebesar 60 persen itu diambil televisi, nilainya sekitar USD 2,4 miliar. "Itu netto. Artinya TV masih menjadi primadona," ujarnya.
Hasil riset AdsTensity juga menunjukkan gambaran iklan televisi komersil (TVS) yang memakai frekuensi publik (terestrial) masih besar pada kuartal pertama 2015 ini. Total belanja iklan televisi mencapai Rp 17 triliun, dan RCTI meraup total pendapatan kotor terbesar Rp 2,03 triliun atau 14, 85 persen. Di peringkat kedua, SCTV dengan pendapatan Rp 1,99 triliun atau 14,17 persen, kemudian MNC TV Rp 1,59 triliun atau 11,69 persen.
Presiden Serikat Pekerja Cipta Kekar TPI (MNCTV) Chandra, mengatakan rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional belum bisa dijadikan ukuran bagi perusahaan media untuk tidak meningkatkan kesejahteraan jurnalis. Dia mencontohkan ekspansi bisnis media sekarang ini. Misalnya yang dilakukan MNC group dan TransTV.
MNC, Chandra memisalkan, selain memiliki sejumlah televisi, juga mengembangkan bisnis koran, majalah, radio dan media online. Begitu juga dengan TransTV yang tengah mengembangkan bisnis online. "Itu kan bukti kalau bisnis di bidang media ini memang sangat menggiurkan. Aku sih melihatnya seperti itu."
Artinya, kata dia, perusahaan yang mengalami pertumbuhan seharusnya berkorelasi positif dengan kesejahteraan pegawai, termasuk jurnalis. Faktanya, berdasar data-data pendapatan iklan televisi atau media lainnya masih bagus. Yang harus jadi pertimbangan pemilik media adalah, jurnalis digaji itu dengan memperhatikan aspek profesionalitas. "Masalahnya data berapa persen pendapatan yang dialokasikan untuk jurnalis itu yang tidak jelas," ujarnya.
Dia mencontohkan kondisi MNC lima tahun terakhir ini. Karyawan, kata dia, memang mendapat bonus ketika perusahaan mengaku untung. Namun, nominalnya tidak tentu setiap tahun. Tahun ini misalnya, berbeda dengan besaran bonus tahun sebelumnya. "Tapi ya itu, besarnya bonus ditentukan perusahaan. Berbeda kasusnya kalau karyawan mengetahui laporan keuangan perusahaan. Karyawan bisa tahu, kalau untung sekian berarti mestinya besaran bonus yang didapat sekian," ujarnya.
Eko Widianto, Jurnalis Penyedia Jasa Berita media nasional mengeluhkan alasan perusahaan media menggaji jurnalis rendah akibat faktor ekonomi nasional. Menurut dia alasan itu sekarang seperti menjadi alat pembenar perusahaan media. Bagi dia ini menjadi persoalan baru yang dihadapi para jurnalis, terutama untuk penyedia jasa berita yang dibayar sesuai jumlah berita yang naik.
Di sisi lain, para penyedia jasa berita itu dituntut untuk bekerja secara eksklusif, loyal, militan dan lain-lain. "Waktu ada peristiwa diperintah untuk liputan, tetapi justru dalam sisi hak, upahnya itu rendah. Itu kan berarti tidak berimbang. Kemudian ketika ada kecelakaan, ketika ada persoalan di lapangan, mereka tidak memiliki jaminan sosial," kata Eko.
Jadi sejauh ini, Eko mengimbuhkan, jika melihat gambaran perusahaan media seperti itu, berarti masa depan kesejahteraan jurnalis semakin buruk. "Angan-angan atau mimpi untuk menjadi sejahtera itu hanya menjadi mimpi. Mungkin suatu saat koresponden atau kontributor bakal semakin buruk sehingga akan banyak orang enggan menjadi jurnalis."
Di lain pihak, kontestasi pekerjaan jurnalistik juga akan dihadapkan pada persaingan global, terutama menjelang MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) akhir tahun ini. "Saya mendengar sekarang banyak media juga sudah menggunakan tenaga asing, termasuk jurnalisnya. Kalau sudah seperti itu nanti kondisinya bagaimana saya tidak tahu," ujar Eko.
Seorang editor The Jakarta Globe menolak disebut nama, mengatakan kantornya selama ini telah mempekerjakan jurnalis asing untuk posisi editor bahasa Inggris. Gaji jurnalis asing itu, kata dia, lebih besar sedikit dibanding jurnalis lokal dengan level yang sama. Namun dia enggan menyebut detail besaran gaji mereka. "Pasti ada selisihnya, tapi tidak terlalu signifikan," ujarnya sambil menegaskan dia tidak risau menjelang MEA ini.
Dalam setahun terakhir, dia melanjutkan, memang banyak jurnalis asing melamar kerja ke kantornya maupun sekadar untuk magang. Masalah seperti itu sudah ada sebelum MEA ini. Kendati demikian, media lokal yang mempekerjakan jurnalis asing biasanya menawarkan pendapatan atau gaji sesuai dengan standar perusahaan. "Kalau jurnalis asing tidak mau ya sudah," tuturnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah diatur tentang upah layak ini. Pasal 1 menyebutkan, upah yang ditetapkan dan dibayarkan harus melalui perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi buruh dan keluarganya. Pasal 90 undang-undang itu menjelaskan, pengusaha dilarang membayar lebih rendah dari ketentuan upah minimum yang telah ditetapkan pemerintah setempat.
Sementara Pasal 88 menegaskan, pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Adapun soal tunjangan pekerja profesional ditegaskan dalam Pasal 18, yakni seorang pekerja seharusnya berhak memperoleh pengakuan kompetensi sesuai keahlian dan profesionalismenya yang diperoleh melalui sertifikasi kompetensi kerja atau melalui pengalaman kerja.
Berdasarkan survei upah AJI Jakarta akhir tahun 2014 lalu, banyak media tak menggaji karyawannya sesuai dengan standar upah layak tersebut. Dalam survei AJI itu, rata-rata perusahaan media hanya menggaji jurnalis di Jakarta dengan pengalaman satu tahun di kisaran Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per bulan. Upah sebesar ini terjadi di media online, televisi, hingga media cetak.
Masalah lain, ukuran standar gaji jurnalis ini masih belum seragam. AJI Jakarta misalnya, menetapkan upah layak jurnalis setingkat reporter dengan status karyawan tetap pada tahun pertama sebesar RP 6.510.400. Angka tersebut dipandang sebagai standar upah layak bagi jurnalis di Jakarta agar jurnalis bisa melaksanakan tugas jurnalistiknya secara lebih profesional. Sedangkan Forum Pekerja Media Indonesia (FPMI) dan AJI Indonesia justru mendorong upah layak pekerja media yang telah diwacanakan selama ini harus terwujud dalam upah sektoral media.
Di lain pihak riset AJI Jakarta menyebut, rasio pengeluaran perusahaan untuk menggaji pekerja media masih rendah. Jawa Pos, misalnya, hanya mengalokasikan 8 persen dari total pengeluaran untuk menggaji pekerja media mereka. Sedangkan Tempo Media Grup hanya mengalokasikan angka sebesar 12,39 persen pada 2012. Begitu pula MNC grup dan SCTV grup (Elang Mahkota Teknologi) di bawah 10 persen.
Kondisi ini sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan di Malaysia (Star Publication) yang mengalokasikan angka 18,3 persen, Singapore Press Holding 29,3 persen dan Fairfax Media Australia 37,12 persen.
"Fakta lainnya, masalah konvergensi media tidak memberi balasan setimpal bagi jurnalis dan para pekerja media pada umumnya. Konversi media cetak dengan media digital menambah beban kerja jurnalis dan pekerja media karena harus memenuhi kebutuhan konten untuk lebih dari satu media," kata Ketua AJI Jakarta Hasim dalam siaran pers peringatan My Day awal bulan lalu.