Kerja sosial di Baturraden, mahasiswi Belgia ikut bikin tembok
Mereka sudah sebulan menetap di desa setempat, dan berbaur dengan masyarakat.
Adukan semen yang berada di dalam ember kecil perlahan diangkat. Sejurus kemudian, adukan semen basah itu dihempas ke dinding berbata putih.
Pekerjaan seperti itu lazim dilakoni pekerja bangunan di Indonesia. Namun, pekerjaan membuat dinding di bangunan berlantai dua, di Desa Kemutug Lor Kecamatan Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah, digarap beberapa perempuan bule.
Mereka ternyata para mahasiswi dari Belgia. Silke Denoo (21), mahasiswi jurusan arsitektur di salah satu universitas di Belgia, menyatakan baru pertama kali membikin tembok bangunan dengan cara manual. Nantinya bangunan itu digunakan sebagai Pos PAUD Pangestu dan TK Pertiwi Desa Kemutug Lor.
"Saya belum pernah melakukan hal seperti ini. Sebelum melakukan ini, saya belajar dengan warga. Sekitar satu-dua hari sudah bisa," kata Silke, Jumat (22/7).
Silke datang bersama tujuh rekannya dalam misi kerja sosial. Salah satu temannya, Kelly Vandenbouhede (20), ikut melaksanakan kegiatan dilakukan sejak sebulan terakhir, di desa berada di kaki Gunung Slamet tersebut.
Sejak awal Juli, mereka menetap dan menyelami kehidupan masyarakat setempat. Tak jarang mereka berbaur untuk mengenal lebih dekat adat istiadat dalam struktur pedesaan di Jawa Tengah.
Kelly mengemukakan, pilihannya berada di tengah-tengah wilayah Baturraden lantaran sudah melihat aktivitas sosial yang dilakukan pendahulu mereka.
"Kami memilih Baturaden dengan melihat referensi yang ada. Ternyata tempatnya sangat indah. Di sini ada air terjun, hutannya masih lebat dan pemandian air panas," ujar mahasiswi jurusan komunikasi di Artereldehogeschool, Gent, Belgia.
Kedatangan mereka, jelas Koordinator Yayasan Tileng Indonesia, Tekad Santosa disponsori beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berkedudukan di Eropa.
Kedatangan mereka ke Indonesia dalam kerja sosial tersebut, jelas Tekad tidak hanya membawa tangan kosong. Justru, lanjut Tekad, sebelum datang ke Indonesia mereka harus mencari pendanaan untuk melakukan kerja nyata.
"Sebelum ke Indonesia, mereka berkeliling mencari sumber dana untuk biaya pembangunan dan perbaikan infrastruktur di daerah yang mereka tuju," jelasnya.
Proses tersebut, jelasnya, dilakukan dengan bersusah payah meyakinkan pendonor. "Biasanya para pendonor minta ada feedback. Feedback tersebut, disanggupi dengan mendokumentasikan kerja nyata mereka di sini yang nantinya akan dibawa ke Belgia," jelasnya.
Hasil dari sumbangan pendonor, terkumpul dana sebanyak Rp 130 juta. Menurut Tekad, uang tersebut nantinya akan digunakan untuk kebutuhan pembangunan lainnya di sarana pendidikan yang ada di desanya.