Kisah heroik polisi gagalkan teror pembajakan pesawat di Indonesia
Sebelum Kopassus membebaskan sandera di seorang personel polisi sudah melakukannya lebih dulu. Ini kisahnya.
Langkah cepat polisi Indonesia melumpuhkan para teroris yang menyerang kawasan Sarinah mendapat pujian internasional. Dalam hitungan menit mereka berhasil menggagalkan seluruh aksi teror yang berlangsung tak jauh dari Istana Kepresidenan dan jantung Kota Jakarta itu.
Ada cerita menarik bagaimana dulu polisi juga menghentikan teror pembajakan udara yang pertama. Jauh sebelum para personel Kopassus membebaskan sandera di Bandara Woyla, Thailand, seorang personel polisi sudah membantu melakukan aksi lawan teror bajak udara.
Peristiwa itu terjadi 5 April 1972. Seorang desertir KKO TNI AL, Hermawan, membajak Pesawat Merpati dengan jurusan Surabaya- Jakarta. Bersenjatakan dua buah granat, dia memaksa Kapten Pilot Hindiarto Sugondo memutar balik pesawat dan mendarat di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta.
Beberapa perwira reserse Kepolisian Yogyakarta meluncur ke Bandara. Mereka dipimpin AKBP Suyono. Turut serta dalam jip tua itu seorang Inspektur Polisi Tingkat II Bambang Widodo Umar. Perwira muda ini baru lima bulan lulus Akademi Kepolisian. Usianya baru 24 tahun.
"Saat kami sampai, di Bandara sudah ramai. Ada TNI AU berjaga di sekeliling pesawat," kata Bambang Widodo Umar saat berbincang dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.
Hermawan meminta uang tebusan Rp 20 juta. Jumlah yang sangat besar di tahun 1972. Hingga sore hari, uang yang ada di Bank seluruh Yogya pun tidak sampai sebanyak itu.
Karena baru sekali ada pembajakan, pemerintah dan aparat keamanan terkesan bingung menyelesaikan masalah itu. Waktu terus bergulir tanpa ada kejelasan akan seperti apa penyelesaian pembajakan pesawat jenis Vickers Viscount MZ-171 tersebut.
"Saya terus lihat ke pesawat. Saya perhatikan, kaca pilot itu kok membuka dan menutup terus. Saya ambil kesimpulan, pilot mencoba memberi tanda. Kalau kaca membuka, pembajak ada di belakang. Kalau kaca menutup, pembajak ada di kokpit," jelas Bambang yang kini menjadi pengamat kepolisian ini.
Bambang tiba-tiba maju mendekat ke pesawat. Naluri polisinya berkata dia harus mengambil tindakan. Jika kaca menutup, pertanda ada pembajak, Bambang mencoba merunduk agar tak ketahuan.
"Jarak antara apron dan pesawat itu kira-kira 200 meter. Saya maju pelan-pelan. Banyak orang di bandara memperhatikan saya, Tapi waktu itu saya benar-benar terfokus pada pesawat itu," jelasnya.
Setelah dekat Bambang mencabut pistol revolver miliknya. Dia meminta tangga dan mencoba naik ke kokpit pesawat. Sayangnya, tangga itu kurang tinggi. Bambang tak bisa melihat situasi dengan jelas, pandangannya terhalang.
"Saya bicara dengan pilot. Dia bilang kalau tidak bisa menembak, serahkan saja pistolnya pada saya (pilot). Saya bisa menembak. Pilotnya itu anggota TNI AU yang dikaryakan," kata Bambang menirukan ucapan Kapten Pilot Hindiarto.
"Saat itu saya refleks memberikan pistol saya padanya. Saya takut juga kalau ketahuan pembajak malah nanti pistolnya diambil, tapi saat itu saya yakin saya harus memberikan pistol itu."
Tiba-tiba Hermawan berbicara, pembajak ini kesal karena permintaannya tak dipenuhi. Dia memutuskan untuk meledakkan pesawat dan seluruh penumpangnya. Suasana tegang, semua orang di Bandara menahan napas menyaksikan detik-detik menegangkan itu.
Tiba-tiba terdengar tembakan pistol tiga kali. 'Dor..dor..dor! Pilot Hindiarto berhasil menembak mati Hermawan.
Drama pembajakan berakhir. Kapten Pilot Hindiarto mengembalikan pistol milik Bambang sambil memeluk dan mengucapkan terimakasih.
Inspektur Bambang dipuji Presiden Soeharto. Untuk pertama kalinya perwira muda itu terbang naik pesawat. Di Jakarta, Soeharto secara pribadi memberikan selamat untuk Bambang.
Sayangnya Bambang batal naik pangkat luar biasa. Dia dipanggil ke Mabes Polri dan ditanyai macam-macam, mereka menilai tindakan Bambang memberikan pistol pada pilot sangat berbahaya. Inspektur Bambang pun adu argumen, Mabes Polri akhirnya bisa menerima penjelasan perwira muda yang berani ini.