Kisah Imam Darul Islam diselamatkan banjir saat dikejar Kopassus
Bukan perkara mudah menangkap sang Imam. Belasan tahun para prajurit TNI mengejarnya di pedalaman.
12 Syawal 1368 H bertepatan dengan 7 Agustus 1949, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirdjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia di Tasikmalaya, Jawa Barat. Gerakannya dikenal dengan nama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau DII/TII.
Kartosoewirdjo yang ikut dalam perang kemerdekaan kecewa atas sikap pemerintah Indonesia yang mau menerima hasil perjanjian Renville tahun 1948. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Selain itu TNI harus ditarik mundur dari Jawa Barat dan Jawa Timur.
Setelah perang kemerdekaan melawan Belanda selesai, maka fokus pemerintah adalah menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat.
Upaya menumpas DII/TII bukan perkara mudah. Mereka mendapat simpati dari masyarakat yang merasa pemerintahan Soekarno terlalu lembek. Sebagian pihak juga menduga intelijen Belanda ikut mendukung DI/TII. Kecurigaan itu berdasarkan pasokan senjata dan amunisi berlimpah yang dimiliki DI/TII. Selain itu, pasukan DI/TII sangat menguasai medan di hutan belantara Jawa Barat.
Pasukan reguler TNI kesulitan mengikuti pola pergerakan pasukan DI/TII. Hal ini membuat Komandan Teritorium Siliwangi Kolonel Alex Evert Kawilarang pun bercita-cita mendirikan sebuah pasukan elite untuk menumpas Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.
Kawilarang pun memanggil Idjon Djanbi dan memaparkan rencananya, sekaligus meminta Idjon menjadi pelatih. Idjon menerima tawaran itu. Maka dia menjadi pelatih sekaligus komandan pasukan elite yang awalnya bernama Kesatuan Komando TT III Siliwangi. Pasukan inilah yang kelak dikenal sebagai Kopassus TNI AD.
Pasukan Komando ini diharapkan mampu bergerak all round di medan pertempuran. Mereka mampu bergerak berminggu-minggu untuk mengejar musuh tanpa kembali ke markas untuk mengisi perbekalan.
Tanpa menunggu latihan selesai, pasukan baret merah ini langsung diterjunkan untuk memburu Kartosoewirdjo dan menumpas DII/TII.
Pasukan itu dipimpin Letnan Satu Fadillah. Mayor Idjon Djanbi turut serta bersama Komandan TT III Siliwangi Kolonel Kawilarang.
Dalam buku memoarnya, Kawilarang menceritakan pengejaran di bulan Oktober 1955 itu.
Kawilarang menemukan fakta Kartosoewirdjo selalu mendirikan kamp di tengah pepohonan bambu. Jadi saat musuh mendekat mereka tahu dari gesekan di rumpun bambu.
Pengejaran itu sudah sangat dekat dengan Kartosoewirdjo. Tapi saat itu nasib baik berpihak padanya. Banjir besar menghalangi pasukan Komando itu bergerak. Sebenarnya jika mereka menerjang maju, mungkin mereka bisa menangkap sang Imam.
"Kami tidak mau mengambil risiko. Beberapa bulan sebelumya dua anggota komando hanyut dalam suatu operasi," kata Kolonel Kawilarang.
Maka Kawilarang memutuskan meninggalkan tempat itu. Komandan DI/TII pun lolos.
Kartosoewirdjo baru tertangkap 4 Juli 1962, tujuh tahun setelah patroli yang digelar Kawilarang dan Idjon Djanbi. Pasukan yang berhasil menangkap Kartosuwiryo Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi, di bawah Komandan Kompi Letnan Dua (Letda) Suhanda.
Kartosuwiryo diadili secara kilat dan ditembak mati di sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Berakhirlah pemberontakan DII/TII selama 13 tahun di belantara Jawa Barat.