Kisah JP Coen membantai 14.400 orang di Banda
Coen membantai ribuan orang karena dendam setelah pemimpinnya dibunuh.
Langkah Jan Peterszoon Coen memulai ambisinya membangun koloni Belanda di Hindia adalah menaklukkan Jayakarta dan menguasai monopoli pala dan rempah-rempah. Untuk kepentingan rempah-rempah itulah JP coen menuju Banda, Maluku.
Ketika Coen pertama kali ke Hindia Timur pada 1610, dia sangat muda dan menjadi awak kapal yang dipimpin oleh Pieter Willemszoon Verhoeff. Saat itu, pimpinannya dibunuh warga Banda. Coen selamat dan melaporkan kejadian itu kepada Kompeni di Belanda dan dia kembali ke Hindia pada 1618.
Saat itu, pada 1616, pusat kegiatan administrasi dan pelayanan Kompeni Belanda masih berada di Banten. Namun, sayang hubungan Kompeni dengan kerajaan Banten tidak begitu baik. Kerajaan Banten menilai Kompeni terlalu dominan dalam urusan dagang, padahal bukan hanya Kompeni yang menjadi kongsi dagang Banten, ada juga Inggris, saudagar dari China, dan negara Eropa lainnya.
Keadaan berubah, saat Jan Peterszoon Coen, diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Hindia pada 1618. Begitu menjabat Gubernur Jenderal, Coen memulai ambisinya ingin membuat markas besar Kompeni. Banten menurut Coen tidak bisa dijadikan pusat Kompeni di Hindia, selain tidak akur dengan pihak kerajaan. Dia lebih memilih Jayakarta sebagai pusat administrasi Kompeni.
Coen merancang sebuah rencana, dengan persiapan perang dan pembangunan benteng di sekitar Jayakarta. Pada 1621 Coen berhasil menaklukkan Jayakarta dan mengusir pengikutnya. Setelah itu, Jayakarta dihancurkan dan dia bangun ulang, diganti menjadi Batavia. Penghancuran Jayakarta dan pergantian nama menjadi Batavia adalah kisah baru Kompeni Hindia yang terus dipenuhi dengan penguasaan di segala bidang dan mengusir musuh-musuhnya.
Bagi sejarawan Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso, penghancuran Jayakarta bukan hanya soal fisik. Coen seperti meniupkan ruh baru pada arah masa depan penjajahan Belanda di Indonesia. Segala cara dia lakukan untuk menguasai perdagangan di Hindia, termasuk dengan menghancurkan Jayakarta dan membangunnya kembali dengan nama yang baru. Kemudian dilanjutkan dengan pembantaian petani Banda di kepulauan Maluku.
"Menghancurkan secara fisik, iya. Secara gagasan Coen meletakkan gagasan yang baru sama sekali. Sistem pusat pemerintahan yang dibangun bukan dengan sistem feodalisme, tapi perusahaan. Perusahaan ini milik negara, perusahaan yang bisa merekrut tentara, membangun benteng, mencetak uang, layaknya sebuah negara. Jadi landasan perusahaan ini untuk mencari keuntungan. Murni ekonomi dan itu sudah seperti negara modern," kata Bondan kepada merdeka.com di rumahnya di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur pada Jumat (20/9).
Di tahun yang sama, seusai menaklukkan Jayakarta, langkah Coen berikutnya adalah monopoli pembelian pala di Banda, Kepulauan Maluku. Langkah-langkah yang dilakukan untuk monopoli pala dilakukan dengan brutal. Coen memaksa petani Banda untuk menjual hasil palanya hanya kepada Kompeni.
Menurut Bondan, alasan pembantaian di Banda, karena sistem pemerintahan di Banda tidak terbentuk seperti kerajaan di Jawa. Bondan menerangkan, jumlah desa di Banda saat itu ada 40 desa dan memiliki otoritas sendiri menjual hasil pala kepada siapa saja. Coen merasa sulit mengatur semua itu, meski ada beberapa desa yang bersedia menjual, desa yang lain tidak bersedia. Maka cara yang dipakai Coen, menurut Bondan dengan cara paksa dan dibantai.
"Coen lahir dari zamannya. Ketika pertama kali ke Hindia Timur, Nusantara, dia melihat satu peristiwa, di mana pimpinannya saat di Banda dibunuh. Dia salah satu awak kapal yang selamat dan melaporkan peristiwa itu ke markas Kompeni dan itu membekas dalam benaknya. Itu kemudian yang menjadikan dia melakukan tindakan kejam terhadap orang Banda. Dia membantai sekitar 14.400 orang di Banda, sekitar 800 orang dipindahkan ke Batavia," ujar Bondan.
Menurut Bondan, apa yang dilakukan Coen saat itu juga dilakukan bangsa-bangsa Eropa yang lain saat menjajah bangsa lain di berbagai belahan dunia. Meski begitu, pemerintah Belanda tetap memberikan gelar pahlawan nasional kepada Coen. Apa yang dilakukan Coen dengan pembantaian itu, menurut Bondan, bahkan tak bisa diadili dengan hukum HAM saat ini.
"Tidak bisa, bahkan untuk norma yang sekarang pun tidak bisa. Tapi untuk ukuran norma apapun tetap saja itu kejahatan meski untuk ukuran Abad XVII. Tapi memang saat itu memang itu yang juga terjadi di mana-mana. Bangsa Eropa lain, ketika ekspansi di mana-mana juga melakukan hal yang serupa. Misal di Benua Amerika, Francisco Pizarro dari Spanyol membantai hingga 5 juta orang. Jadi mereka melakukan hal itu dan kemudian Inggris di Amerika Utara juga membantai orang Indian yang jumlahnya ratusan ribu. Jadi apa yang dilakukan Coen itu dampak ekspansi Bangsa Eropa ke Asia. Itu terjadi di mana dan di sini kebetulan terjadi di Banda," kata Bondan.
Bondan juga mengingatkan, hal serupa juga terjadi di Nusantara. Banyak juga raja-raja di nusantara yang melakukan hal yang serupa kepada rakyatnya, namun jarang yang mau mengungkapkannya. Dia mencontohkan bagaimana Amangkurat I yang memerintah Kesultanan Mataram pada 1646-1677, yang membantai 6.000 santri di alun-alun Surakarta.