Software olah musik Hollywood dari Bandung
Tahukah Anda bahwa sebagian film Hollywood dan bisnis game animasi Jepang ternyata pakai aplikasi audio dari Bandung?
Tahukah Anda bahwa sebagian film-film Hollywood dan bisnis game animasi Jepang ternyata memanfaatkan aplikasi pengolah audio asal Bandung? Tapi mengapa justru di dalam negeri kurang dihargai.
Adalah paramuda Bandung, yang suka bermain musik dengan memanfaatkan software audio digital, karena merasa kurang puas akhirnya mereka kumpul dan sepakat membuat software audio sendiri. "Sampai semua bilang hayuuk, maka mulailah mereka produksi software audio digital dengan merk Kuassa.
Salah satu pengguna software Kuassa adalah komposer musik game kenamaan dari perusahaan Capcom Jepang, Masahiro Aoki. Juga komposer untuk beberapa film Hollywood seperti Butterfly Effect, Watchmen, Guardians of The Galaxy dan lain-lain, Dieter Hartman adalah pengguna setia Kuassa. "Mereka pembeli ya. Jadi gak ada testimoni," kata Grahadea Kusuf, CEO Kuassa. "Jadi kami menemukannya dari list pembeli di daftar kami."
Itu hanya sebagian kecil saja. Banyak lainnya yang tidak tercatat. Anda bisa mencari di Youtube, dengan kata kunci Kuassa akan mendapatkan banyak tokoh musisi dunia memberikan testimoni. Tak terkecuali Tim Carter, peneliti dan ilmuwan musik dunia asal Australia yang belajar di Inggris dan AS. Atau Amner Hunter seorang profesional terkenal penguji suara musik cadas, dll.
Kuassa adalah sebuah perusahaan pengembangan perangkat lunak yang mengkhususkan diri dalam amplifikasi gitar digital dan pengolahan audio. "Kami sangat bergairah tentang musik, dan tujuan kami adalah untuk menyediakan alat-alat besar untuk membantu proses kreatif musisi," terang mereka di situs webnya, kuassa.com. Pengolah musik dari penataan sampai post produksi. Produknya antara lain equalizer, amplifier, maximizer, dan ain-lain. Semua software wajahnya seperti perangkat kerasnya. Sangat komunikatif dan user friendly bagi pemusik.
Sebagai musisi mereka percaya bahwa kualitas tonal baku mengalahkan segalanya. Dan, tujuan utama mereka membuat fitur-fitur pengolah audio musik sangat jelas: menciptakan musik besar.
Nama "Kuassa" berasal dari kata Indonesia "Kuasa", yang dapat diartikan kekuasaan atau otoritas. "Nama mencerminkan keyakinan kami bahwa memiliki pemahaman yang menyeluruh dari kedua proses kreatif dan berpikir kritis, serta penguasaan beragam alat musik untuk menciptakan alat musik.
Adapun anak-anak muda dari Sukasenang Bandung yang bergairah di musik ini, adalah Arie Ardiansyah (CTO) yang menguasai algoritma dan jadi product development sekaligus riset. Canggih di gitar dan vocalis serta komponis.
Grahadea Kusuf bertindak sebagai CEO yang urusan dengan bisnis dan juga desain. Spesialnya di syntezer. Sedang Adhitya Wibisana bertindak sebagai sound director. Kualitas suara dia yang jabanin. Rendy Bez adalah drummer yang menguasai segala aspek visual. Termasuk UIX (user experience). Sementara itu Edwin Yudayana gitaris jazz, bertanggungjawab di back-end teknologi. Cil Satriawan yang malang melintang di band indie, jadi penyedia programing yang tidak perlu. Untuk optimalisasi hasil. Pratama Kusuma pemain band The Sigit banyak terlibat di rendering materi 3D. Bramantyo Kusuma seorang teknisi telekomunikasi jadi programmer. Rathomi Nugraha yang biasa jadi vocalis, menulis lagu, juga syntezer bertanggungjawab sebagai manajer komunitas.
Semula, kata Grahadea, pikiran mereka setelah membuat software, ditaruh di internet, maka uang akan mudah datang. Tapi, ternyata tidak seperti yang dibayangkan. Dalam setahun melakukan riset, tampaknya tidak cukup. Produk harus dikembangkan, diperbanyak, dikenalkan, didemokan, agar kian dikenal dan menghasilkan pendapatan.
Produk pertama mereka hanya terjual 1-2 license per bulan. Tapi mereka tak patah arang, maka bikin produk kedua dan lumayan. Ada pelajaran yang dipetik, "Tampilan simpel, gambar foto realistik dan 3 dimensi sehingga menarik," katanya.
Meski tinggal di Bandung, mereka beberapa kali mendapat undangan ke mancanegara, baik sendiri maupun bersama-sama. "Kalau pasar, kebetulan kami-kami ini sering main di forum-forum komunitas luar, tentang musik elektronik, rekaman, dan produksi musik, sehingga kami tahu pasar musik itu bagaimana," tegasnya.
Rata-rata pertahun memang belum besar omzetnya, sekitar Rp 1 miliar lebih dari pengunduh internet. Tapi, mereka tetap yakin, pasarnya ada dan tidak akan mati. Seperti halnya bisnis musik yang selalu berkembang. Dari total penjualan, menurut Grahadea sekitar 38% datang dari Amerika termasuk Hollywood, kemudian Jepang, Eropa, Korea, Australia. Dari Indonesia sendiri meski cuma 5, tapi dia mendapat laporan banyak di lapak. Kok bisa? "Bajakannya banyak, sedih ya."
Memang ada yang sudah mengincarnya untuk diakuisisi. Tapi saking sayangnya mereka tak menjualnya. Kuassa bagi mereka adalah bisnis dari hobi yang mereka cintai. Ketika aplikasi yang mereka ciptakan banyak digunakan pembuatan film dan musik berkualitas, bahagia sekaligus bangga.
Sekali lagi, inilah bukti bahwa berangkat dari hobi bersama, menciptakan karya besar. Komitmen, dan konsistensi mereka yakini bahwa kelak Kuassa mampu berkuasa di jagaT olah musik dunia. ***