Lapangan bola di Jakarta cuma 18, anak-anak ujungnya tawuran
Lapangan olahraga kurang sehingga mereka lebih sering ke mal. Muncul kecemburuan sosial yang bermuara pada tawuran.
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault menilai anak-anak dan remaja sekarang ini kehilangan ruang untuk berinteraksi. Lapangan olahraga kurang sehingga mereka lebih sering ke mal. Muncul kecemburuan sosial yang bermuara pada tawuran.
"Sekarang ini, jumlah lapangan sepak bola di Jakarta cuma 18 unit. Anak-anak ini kalau mau main (olahraga) di mana? Akhirnya, setiap pulang sekolah kita lihat mereka berkumpul di mal-mal," kata mantan Menpora Adhyaksa Dault di Semarang, Sabtu (13/10). Dia menyampaikan kuliah umum bertema "Aku, Kampus, dan Masa Depan Bangsaku" di Universitas Negeri Semarang.
Akibatnya, kata dia, di antara anak-anak ini terjadi kecemburuan sosial, di satu sisi mereka yang anak orang berduit menampilkan kekayaannya, seperti mobil, sementara sebagian lainnya dari keluarga tidak berpunya.
"Melihat kenyataan semacam ini, anak-anak menjadi terpicu gejala sosial yang mengakibatkan mereka melakukan pelampiasan, seperti menyalahgunakan obat-obatan terlarang, tawuran, dan sebagainya," katanya.
Ia menekankan bahwa potensi pemuda sebenarnya sangat dahsyat, karena ibarat pensil mereka yang menjadi ujungnya, di antaranya kalangan mahasiswa kampus yang menjadi ujung tombak gerakan perubahan.
"Seringkali kita mengatakan pemuda hari ini akan menjadi pemimpin masa datang. Namun, kita melupakan proses-proses keseharian bagaimana menyiapkan mereka ini sebagai pemimpin," kata Adhyaksa.
Dia menambahkan, anak-anak dan remaja juga kehilangan figur panutan sehingga kerap ditemui aksi kekerasan antarpelajar hingga tawuran mahasiswa. "Dulu, waktu saya masih Menpora pernah mengusulkan setiap departemen (kementerian) membuat film tentang rasa nasionalisme, kebangsaan, serta persatuan dan kesatuan bangsa," katanya.
Menurut Adhyaksa, tawuran merupakan penyakit sosiologis masyarakat yang terjadi akibat akses informasi yang kian terbuka dan menjadikan Indonesia sangat ultramodern, akhirnya anak-anak kehilangan figur panutan.
Setiap tahun, kata dia, setidaknya masing-masing kementerian, ditambah pemerintah provinsi sehingga ada sekitar 66 film yang membangkitkan rasa nasionalisme, kebangsaan, serta persatuan dan kesatuan bangsa.
"Namun, ternyata yang membuat waktu itu cuma kami (Kemenpora), yakni 'Laksamana Keumalahayati'. Sekarang ini anak-anak tidak punya film yang seperti itu, seperti Cut Nya Dien, Teuku Umar," katanya.