Masjid Al Ma'moer, harapan dan doa para pedagang batik Laweyan
Meski disebut masjid, ternyata tempat ini dari dulu tak pernah laksanakan salat Jumat.
Kampung batik Laweyan adalah salah satu kawasan bersejarah di Kota Solo, Jawa Tengah. Wilayah ini sarat dengan cerita sejarah kehidupan masyarakat Kota Solo tempo dulu. Masih banyaknya rumah kuno peninggalan saudagar batik.
Para saudagar batik tidak hanya meninggalkan rumah kuno. Mereka juga sempat membangun masjid dengan arsitektur perpaduan Arab dan Jawa. Masjid Al Ma'moer namanya. Terletak di Jalan Sidoluhur No 50, Laweyan atau berada di tengah-tengah Kampung Batik Laweyan.
Itu merupakan masjid pertama dibangun para juragan batik di Kampung Laweyan. Masjid ini dibangun Haji Mas Sururi Bin Sulaiman pada tahun 1942, pada masa pendudukan Jepang. Namun, masjid ini baru diresmikan pada tanggal 16 Agustus 1945 oleh para Ulama di Kota Solo tepat sehari sebelum hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Meski sudah berusia puluhan tahun, ternyata masjid ini tidak pernah dipakai untuk melaksanakan salat Jumat. "Dari dulu hingga sekarang memang tidak diselenggarakan Salat Jumat di sini. Karena letaknya berdekatan dengan Masjid Laweyan yang merupakan masjid milik Keraton Surakarta yang lebih tua," jelas Takmir Masjid Al Ma'moer, Muhammad Najib, Rabu (15/6).
Najib menceritakan, sebelum menjadi masjid, bangunan ini merupakan rumah warga dibeli Haji Masruri bin Sulaiman. Dalam pembangunannya, arsitektur bangunan Masjid Al Ma'moer mengadopsi gambar dari beberapa masjid di Arab Saudi. Dengan luas bangunan 446 meter persegi, masjid yang hingga kini belum pernah tersentuh renovasi itu mampu menampung 300an jamah.
Bentuk bangunan termasuk tempat berwudlu yang berupa kolam besar hingga kini masih dipertahankan dan digunakan. Menara kecil pada bagian depan bangunan juga masih digunakan. Begitu juga tulisan-tulisan Jawa dengan ejaan lama juga masih jelas terlihat, seperti "kakoes" untuk menunjukkan tempat buang air besar, "koelah" atau kamar mandi, serta "mligi kepoetrian" atau khusus untuk putri.
"Semuanya masih asli hanya ditambahi keramik tahun 1980-an lalu. Yang membedakan dengan arsitek masjid kuno di Solo, tempat mimbar kebanyakan berarsitektur Jawa kalau di sini berarsitektur Arab," jelasnya lagi.
Menurut dia, selama bulan Ramadan, Masjid Al Ma'moer juga melaksanakan salat Tarawih. Pada mulanya, untuk menjadi imam di masjid ini ada syarat harus dipenuhi. Mereka harus hafal Alquran.
Sebagai tempat berkumpulnya para pejuang pada masanya, masjid ini juga kerap menjadi lokasi itikaf di bulan Ramadan. "Sejak awal didirikan masjid ini diniatkan untuk digunakan itikaf. Maka disebut masjid meskipun tidak digunakan untuk salat Jumat. Nama Masjid Al Ma’Moer diambil dengan ujub supaya masjid dan masyarakat sekitar yang kebanyakan berprofesi sebagai pedagang batik ini selalu dimakmurkan," pungkasnya.