Menakar ChatGPT Teknologi AI Pisau Bermata Dua bagi Industri Media
Kehadiran teknologi digital dengan teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan kian masif. Kini publik diramaikan dengan kecanggihan teknologi AI dari ChatGPT besutan perusahaan startup Open AI yang didirikan sekelompok ilmuwan dan pengusaha, termasuk Elon Musk.
Kehadiran teknologi digital dengan teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan kian masif. Kini publik diramaikan dengan kecanggihan teknologi AI dari ChatGPT besutan perusahaan startup Open AI yang didirikan sekelompok ilmuwan dan pengusaha, termasuk Elon Musk.
Lantas bagaimana dampak kehadiran dari Chat GPT, chatbot pintar berbasis kecerdasan buatan AI terhadap industri media?
-
Bagaimana cara industri media memanfaatkan ChatGPT? Nah saya kira industri publisher bisa memakai secara bijak dengan melimitasi hybrid tidak murni tapi di-hybrid. Kedua, hybrid pun bisa delimitasi di konteks-konteks yang low risk regulasi, etik dan moralitas,"
-
Apa dampak ChatGPT terhadap media? Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut memandang kehadiran ChatGPT memiliki plus minus apabila media khususnya pekerjaan mengadopsi kecanggihan dari AI. "Artinya bahwa dari sisi publisher jurnalis pasti ada isu apakah ChatGPT aman dari sisi etik, moralitas, dan yuridis dan sejenisnya, pasti ada pertanyaannya seperti itu. Tapi dari sisi bisnis orang bisa bilang ini menghemat banyak, bisa menambah jumlah volume,"
-
Apa yang dibayangkan oleh AI? Hasilnya sungguh memesona. Coldplay memainkan musik mereka di tengah latar belakang Gunung Bromo yang diselimuti kabut, menambah pesona dan kemegahan dari acara tersebut. Ribuan penonton terlihat memadati area tersebut.
-
Siapa yang berpendapat ChatGPT memiliki plus dan minus bagi media? "Ada plus dan minusnya, pisau bermata dua. (Jurnalis) tak akan pernah tergantikan karena unsur mendefinisikan kepentingan publik meraba perasaan publik itu kan membutuhkan manusia. Tidak bisa dikerjakan si mesin, menganalisis, lagi-lagi media itu membutuhkan independensi,"
-
Apa yang membuat fitur ChatGPT viral di media sosial? Percakapan dalam unggahan tersebut tentunya sangat menarik perhatian warga net karena merasa ChatGPT sangat berguna dan jawaban yang diberikan juga sangat mengiris hati seolah memang benar bahwa yang menjawab adalah Ibu dari pemilik akun.
-
Mengapa AI penting di media sosial? Media sosial seperti Facebook dan Instagram menggunakan teknologi AI untuk mengenali serta mempelajari interest para penggunanya sehingga konten yang ditawarkan dapat sesuai dengan minat para pengguna.
Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut memandang kehadiran ChatGPT telah memberikan sebuah tantangan bagi industri media. Teknologi ini memiliki plus minus apabila media khususnya pekerjaan mengadopsi kecanggihan dari AI, seperti ChatGPT.
"Artinya bahwa dari sisi publisher jurnalis pasti ada isu apakah ChatGPT aman dari sisi etik, moralitas, dan yuridis dan sejenisnya, pasti ada pertanyaannya seperti itu. Tapi dari sisi bisnis orang bisa bilang ini menghemat banyak, bisa menambah jumlah volume," ujar Wenseslaus seusai diskusi IDA di Jakarta Rabu (22/2).
Dengan dua gambaran garis besar plus minus dari kehadiran ChatGPT, Wenseslaus memandang industri media bisa secara bijak melakukan langkah hybrid. Yakni melimitasi beberapa sektor pekerjaan yang bisa memakai AI dan sektor lain tetap mempertahankan dikerjakan secara manual.
"Nah saya kira industri publisher bisa memakai secara bijak dengan melimitasi hybrid tidak murni tapi di-hybrid. Kedua, hybrid pun bisa delimitasi di konteks-konteks yang low risk regulasi, etik dan moralitas," terangnya.
Wenseslaus menganalogikan kemajuan teknologi AI ChatGPT ibaratkan pisau bermata dua bagi industri media. Karena, pekerjaan media, khususnya jurnalis harus tetap memiliki perasaan dari manusia.
"Ada plus dan minusnya, pisau bermata dua. (Jurnalis) tak akan pernah tergantikan karena unsur mendefinisikan kepentingan publik meraba perasaan publik itu kan membutuhkan manusia. Tidak bisa dikerjakan si mesin, menganalisis, lagi-lagi media itu membutuhkan independensi," bebernya.
Karena kebutuhan sikap independen itulah, Wenseslaus menegaskan jurnalis harus bisa menjalankan tugas tersebut. Ketika sikap independen dipandang berbeda dengan netral yang masih bisa dijangkau AI.
"Karena kalau netral itu si A bilang hujan si B bilang kering, tapi si media menulis dua-duanya. Kata si A hujan dan si B kering. Nah independen itu dia keluar langsung mengecek memastikan hujan atau kering itulah independen, bukan netral," tegasnya.
"Jadi saya kira situasi tertentu media berhak menentukan sikapnya untuk bersikap independen. Termasuk sikapnya netral itulah yang bisa ditangkap oleh si mesin," sambung dia.
(mdk/yan)